AKUNTANSI DAN MASYARAKAT
02.52 | Author: King Adoll


Saat ini, banyak orang yang memandang akuntansi sebagai sesuatu kegiatan mekanis yang tidak menarik yang mencatat dan melaporkan ‘fakta’ yang sebenarnya mudah untuk dicatat dan dilaporkan, intinya sebagai kegiatan klerikal. Akuntansi dipandang sebagai sesuatu kegiatan yang asocial dan apolitical. Persepsi ini dibentuk dan didorong oleh penggambaran akuntansi dan akuntan dalam literature, film dan media.


Akuntansi berkembang untuk menduduki posisi signifikan dalam fungsi masyarakat industri modern. Berkembang dari prkatek manajemen perkebunan, pedagang dan cikal bakal korporasi, akuntansi dikembangkan menjadi komponen yang sangat berpengaruh dalam organisasi modern dan manajemen sosial. Di dalam organisasi, sektor privat maupun publik, perkembangan akuntansi semakin luas dan tidak hanya berhubungan dengan manajemen keuangan tapi juga berpengaruh terhadap pembentukan pola organisasi, artikulasi struktur manajemen dan penciptaan kekuasaan dan pengaruh. Dalam tingkatan sosial yang lebih luas, akuntansi juga memiliki pengaruh yang sangat besar. Perhitungan nilai ekonomi yang disediakan oleh sistem akuntansi di level perusahaan menjadi dasar tidak hanya untuk kepentingan perpajakan tapi juga pemanfaatannya dalam mengelola kebijakan perekonomian suatu Negara. Data akuntansi digunakan dalam penerapan kebijakan untuk stabilisasi perkenomian, harga, dan control gaji, regulasi industri tertentu dan sektor komersial dan perencanan sumber daya ekonomi nasional dalam kondisi perang, damai, kemisikinan dan depresi.

Informasi akuntansi dalam masyarakat mempengaruhi setiap manusia. Hal ini bisa dipahami dengan memperhatikan pemanfaatan informasi akuntansi dalam penentaun harga pokok barang yang dikonsumsi oleh masyarkat. Sebagai contoh, harga pokok produksi bahan bakar yang ditentukan dengan menggunakan informasi akuntansi akan mempengaruhi harga-harga sembako yang akan mengubah perilaku masyarakat. Akuntansi dapat memiliki peran yang sangat besar dalam masyarakat selain yang dipahami secara tradisional. Akuntansi dapat berkontribusi dalam masalah kongesti dan penyakit urban, pengendalian kriminal, dan destruksi lingkungan.

Permasalah urban sudah begitu lama dan belum bisa di atasi dengan baik. Tak ada satu pun profesi yang memonopoli kebutuhan untuk penyelesaian masalah ini. Berbagai disiplin dibutuhkan keterlibatannya dalam penyelesaian masalah ini termasuk akuntansi. Teknik akuntansi yang dapat berkontribusi dalam pengembangan kehidupan urban sama dengan yang dibawa dari permasalah di lingkungan bisnis; pengukuran, pengumpulan data, analisis, dan komunikasi. Usaha untuk pengembangan kondisi urban membutuhkan pengukuran kondisi untuk menentukan alokasi sumber daya, analisis untuk mengatasi masalah, evaluasi atas hasil pengukuran, komunikasi/pelaporan untuk mengevaluasi pengalokasian sumber daya, dan mengurangi program yang tidak produktif. Beberapa dari kantor-kantor akuntan pernah mengambil peran dalam hal ini termasuk ‘The Big Four’. Ernst and Ernst dan juga Arthur Young yang sekarang sudah bergabung menjadi Ernst & Young Co danPeat, Marwick, Mitchell & co (cikal bakal KPMG) pernah terlibat dalam usaha pengembangan kehidupan urban.

Daftar Pustaka
Burchell, Stuart dan Colin Clubb, dkk. 1980. The Roles of Accounting in Organizations and Society., vol. 5 , no. 1, pp. 5-27
Estes, Ralph W. 1973. Accounting and Society. Canada: Jhon Wiley & Son, Inc
Gallhofer, Sonja dan Jim Haslam. 2003. Accounting and Emancipation: Some critical interventions. Routledge

Selengkapnya...

TERORISME ala IFRS
21.37 | Author: King Adoll

Proyek besar Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sekarang adalah menyambut kedatangan ‘tamu spesial’ yang akan mendiami otak hingga mengakar dalam alam bawah sadar sebagian besar akuntan dan masyarakat Indonesia. Prof. Iwan Triyuwono menyebut tamu spesial ini sebagai ‘makhluk baru’. Tamu spesial ini merupakan spesies baru dari makhluk kapitalis yang dipercayai memiliki fitur-fitur yang lebih canggih dari spesies lainnya. International Financial Reporting Standard (IFRS) berusaha didogmakan memberikan informasi yang lebih relevan dan reliastis dibanding GAAP. IFRS yang mencoba mengatasi kemandegkan akuntansi dalam memberikan informasi yang realistis mengenai informasi keuangan suatu entitas perlu dipandang sebagai khazanah baru dalam ilmu akuntansi.
Namun sebagai sebuah ilmu, dengan menggunakan paradigma kritis, IFRS tidak terlepas dari nilai-nilai tertentu yang inheren di dalamnya. Akuntansi bukanlah proses tekhnikal dan amoral semata. Pandangan dunia yang digunakan oleh IASB dalam merumuskan IFRS masih terjajah oleh pandangan duniawi kapitalistik. Arah mata pembaca dari sebuah Laporan Posisi Keuangan (Neraca) masih diarahkan kepada pojok kanan bawah (ekuitas). Meskipun fair value hadir terutama untuk memperbaiki informasi pada pojok kiri (asset), namun hal itu bertujuan untuk memberikan informasi yang lebih relevan terhadap nilai ekuitas . Fair value yang menjadi ‘jualan utama’ IFRS pun ternyata masih merupakan pilihan dalam IFRS untuk diterapkan dan bukan suatu kemutlakan.
Seperti GAAP US, IFRS juga lahir dan tumbuh dalam paradigma yang disebut oleh Fritjof Capra sebagai paradigma Cartesian. Segala sesuatu harus dikuantitatifkan, ukuran keberhasilan perusahaan harus dinilai dengan angka. Sepertinya akuntansi pun dianggap sebagaimana mesin arloji dimana ketidakstabilan dikarenakan oleh adanya bagian tertentu yang yang rusak dalam mesin itu sehingga hanya perlu memperbaiki bagian itu. Kritikan utama terhadap sistem akuntansi yang mendominasi sebelumnya mengarah pada historical cost sehingga hal itu diperbaiki dengan menonjolkan fair value dan menganggap bahwa masalah sudah terselesaikan. Tentulah Saya tidak melihat IFRS sebagai fair value saja tapi IFRS-lah yang melihat dirinya seperti itu dengan menyerang GAAP tidak mampu memberikan gambaran real dari kondisi keuangan perusahaan. Seharusnya IFRS juga melihat dirinya tidak menggmbarkan realistas yang sebenarnya dari perusahaan bahkan tidak mampu menjelaskan mengapa nilai perusahaan atau total asset tidak sama dengan nilai saham perusahaan yang mewakili penilaian publik terhadap perusahaan kecuali dengan jembatan goodwill.
Keberhasilan pandangan kapitalistik dalam merekonstruksi kelemahan sistem sebelumnya tentulah semakian memukau masyarakat. Sejalan dengan teori evolusi Darwin, IFRS hadir sebagai jawaban dalam menghadapi tantangan kritikus dan perkembagan lingkungan bisnis dan tidaklah memerlukan usaha yang begitu besar untuk mendikte para akuntan dan masyarakat umum untuk menyembahnya. IASB cukup menggunakan jubah IFAC dan mengancam untuk mengeluarkan keanggotan dari IFAC bagi yang tidak berniat menerapkan IFRS. Selain itu, juga dengan mencekoki negara-negara yang termasuk dalam G20 dan juga menggadeng bursa-bursa saham. IFRS pun menjelma menjadi agen kapitalisme dan neo-liberalisme dalam melanggengkan kekuasaannya dengan berusaha untuk menyeragamkan standar akuntansi yang berlaku.
Hal tersebut tentu merupakan serangan bagi perkembangan pandangan dunia yang tidak mempertuhankan kapital. Sistem-sistem akuntansi yang lahir dari pemikiran dan landasan filosofis berbeda tentu saja merasakan sebuah serangan baru layaknya teroris menyerang targetnya. Sistem akuntansi yang berlandaskan Islam yang sedang berkembang bersamaan dengan kemunculan isu-isu sosial dan lingkungan dalam dunia bisnis termasuk akuntansi sepertinya ditimpuki oleh IFRS sebagaimana dalam permaianan ‘pukul kepala anjing’.
Sistem akuntansi yang berlandaskan Islam diserang mulai dari ketidakmampuan konsep ini mewadahi kepentingan relevansi informasi hingga kepentingan kepentingan verifikasi informasi yang dihasilkan. Kaitan akuntansi dengan isu-isu sosial yang mendorong perkembangan akuntansi sosial pun diserang hampir dengan pola yang sama termasuk perdebatan mengenai definisi tanggung jawab sosial yang tak kunjung selesai. Serangan lain yang muncul dari IFRS adalah adanya pola akuntansi direduksi menjadi hanya ada dalam perusahaan-perusahaan besar. Akuntansi yang memiliki muatan lokal tentu semakin terkebiri oleh hadirnya IFRS. Sepertinya petani semakin tidak akan pernah memikirkan untuk menggunakan akuntansi dalam kehidupannya.
Serangan IFRS ala teroris ini tidak hanya mengarah pada lembaga akuntansi dan standar akuntansi, namun juga mengarah pada individu masyarakat. IFRS sebagai agen kapitalisme membibing akuntan dan masyarakat melihat kinerja suatu entitas dalam ukuran uang yang akan menular pada pengukuran kinerja individu. Perilaku baik, shaleh, ramah, suka menolong bertenggang rasa dan perilaku lainya yang sering diajarkan dari pendidikan dasar tidak akan menjadi dasar penilaian.
Pemerintah dan sebagian besar akuntan begitupula masyarakat bisnis dengan sorak-sorai mengucapkan:
Selamat Datang Penjajah!!!
Selamat Datang Teroris!!!

Selengkapnya...

AKUNTAN PANCASILAIS
06.31 | Author: King Adoll

When someone sitting next to me on a plane asks me what I do, I usually tell him or her I’m a salesman. Then they ask, “What do you sell?” and I tell them, “Accounting Services”. This is how one American CPA described his work (Fraser dalam Ken McPhail dan Diane Walters). Di bagian lain, akuntan mempresentasikan diri mereka sebagai kaum professional. Status dan pengaruh terhadap berbagai institusi akuntansi beserta manfaat ekonomis pun diperoleh oleh para akuntan dengan klaim bahwa akuntansi merupakan profesi dan akuntan itu professional.
Sebagai sebuah profesi, akuntan memiliki karakteristik unik dibanding dengan profesi lainnya dengan sangat menonjolkan semangat profesionalisme. Keunikan tersebut berangkat dari sebuah kondisi dimana profesi lain merupakan client-oriented, namun akuntan punya prima rensponsibility yang diamanatkan oleh publik daripada sekedar kepentingan klien atau perusahaan. Akuntansi merupakan avant garde dalam mengemban amanat transparansi dan akuntabilitas dalam ranah good governance yang menjadi salah satu pilar utama dalam aliran modernisme dan developmentalisme.
Akuntan memiliki bagian tanggung jawab dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan cita-cita dari para founding father bangsa Indonesia yang tertuang dalam sila kelima Pancasila. Tanggung jawab ini tercakup dalam semua aspek profesi akuntan, baik sebagai akuntan publik, akuntan pemerintah termasuk akuntan pajak, akuntan pendidik, maupun akuntan manajemen termasuk konsultan.
Akuntan bertanggung jawab dalam menyajikan data-data yang akan mempengaruhi keputusan manajemen. Meskipun hanya diberikan peran sebagai penyaji data, akuntan dapat memilih data yang akan disediakan dengan mempertimbangkan pengaruh data tersebut dalam keputusan yang akan memberikan manfaat bagi masyarakat luas dan bukan hanya kepada pemilik modal. Sebagai kaum profesional, akuntan seyogyanya menyajikan data yang sesuai dengan tanggung jawab utamanya sebagai pelayan publik dan bukan menyajikan data yang akan membuatnya tampak berpihak pada pimpinan atau klien untuk mendapat imbalan berupa kenaikan gaji dan pangkat atau keberlanjutan dalam hubungan pemberian jasa terhadap klien tersebut.
Sebuah pertarungan yang sangat nyata antara yin dan yang hadir dalam sanubari seorang akuntan setiap kali dihadapkan pada sebuah kondisi yang mengharuskannya untuk menggunakan judgment profesionalnya. Vis a vis antara tuntutan sebuah profesi sebagai sebuah lahan subur untuk isi perut dan semangat professional yang menjunjung tinggi semangat altruis seringkali menghadirkan dilema bagi akuntan. Altruis merupakan yin dan yang-nya adalah egois. Sikap altruis pada titik ekstrim bahkan akan menghilangkan keinginan diri untuk memenuhi kebutuhan diri itu sendiri demi kebutuhan orang lain atau merelakan nyawanya demi orang lain.
Konsep cost-benefit memasung semangat profesionalisme akuntan dalam menjalankan tugasnya. Makna ‘benefit’ yang diperoleh akuntan terkontaminasi dengan aliran materialis yang inheren dalam konsep akuntansi itu sendiri. Sehingga jasa yang diberikan hanya dinilai dengan manfaat ekonomis yang diperoleh dan semangat profesionalisme pun tewas dalam medan pertempuran. Sungguh ironis nasib transparansi dan akuntabilitas yang disandarkan pada pundak akuntan ternyata relatif.
Peran akuntan publik sangat strategis, mengingat sekurangnya terdapat sekitar 22 undang-undang yang menyebutkan kebutuhan audit laporan keuangan oleh akuntan publik, di antaranya yaitu UU Pasar Modal, UU Perseroan Terbatas, UU Perbankan, UU BPK, UU Keuangan Negara, UU Yayasan, UU Koperasi, UU Pemilu/Pilkada, dan lainnya. Tanggung jawab yang begitu besar dipundak akuntan membuat profesi ini sepertinya rentan sekali terkena penyakit akibat tekanan psikologis yang semakin kuat. Kehadiran RUU akuntan publik salah satunya, bahkan mengancam akan memenjarakan akuntan ketika memberikan informasi yang salah meskipun itu berlandasakan judgment akuntan publik. Tapi bukankah itu sebuah nyanyian supporter bola dari tribun penonton kepada tim kebanggannya agar menyajikan permainan yang berkualitas sehingga menjadi scudetto?
Saat ini, profesi akuntan tertinggal beberapa poin dari pimpinan klasemen yaitu ahli hukum dalam pemberantasan korupsi. Jajaran kepengurusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), umumnya didominasi oleh orang-orang non-akuntan yang memiliki latar belakang kemampuan dalam menyingkap realitas korupsi. Ketika perilaku korup mewabah di negeri ini, profesi akuntan tentu memiliki andil besar di dalamnya. Bagaimana tidak, akuntan ibarat koki yang meramu dan mengaudit laporan keuangan pemerintah atau perusahaan swasta. Akuntan menyusun laporan keuangan yang korup dan akuntan juga mengaudit laporan keuangan yang korup. Bukankah ini sebuah ironi bagi profesi kebanggan ini?
Profesi akuntan seyogyanya berintrospeksi diri dan mencoba mempelajari kelemahan dalam proses mengungkap sebuah realitas korupsi yang seharusnya menjadi tanggung jawab besarnya. Menurut Wartono, Pengajar Universitas Sebelas Maret dan Managing Partner Kantor Akuntan Publik Wartono, dalam sebuah tulisannya, kendala utama akuntan dalam mengungkap realitas korupsi seringkali terbentur pada konsep veriability akuntan. Konsep ini mengarahkan akuntan berpegang teguh pada prinsip form over substance dan bukannya substance over form.
Konsep veriabilitas tersebut menegaskan bahwa transaksi atau kejadian (realitas) harus dicerminkan dalam bentuk dokumen atau bukti transaksi yang dapat ditelusuri. Kejadian atau transaksi dianggap fiktif jika tidak dapat dicerminkan atau didukung dengan bukti formal. Dengan kata lain realitas yang sebenarnya terjadi dianggap tidak ada jika tidak didukung dengan dokumen atau bukti formal. Inilah yang disebut realitas formal/formulir. Ini berarti bahwa form lebih ditonjolkan dari pada substansinya. Meskipun terdapat fakta yang benar-benar ada atau terjadi, misalnya terdapatnya penggelapan atau pengambilan uang secara tidak legal benar-benar terjadi, namun jika tidak ada dokumen atau bukti formal yang mendukung (misalnya berupa kwitansi pengeluaran yang membuktikan adanya penggelapan), maka pandangan ini memperlakukan bahwa penggelapan dianggap tidak ada, karena realitas dinilai dari formnya. Konsep veriabilitas ini menegaskan bahwa auditor tidak akan berhasil mengungkap realitas yang sebenarnya manakala realitas yang terjadi tidak ditemukan atau disertai dengan dokumen formal. Tentu saja realitas yang diungkap hanyalah realitas formal saja dan bukan realitas substansial. Namun, meskipun hal ini diperbaiki tetap saja yang menentukan adalah apakah proses ini cost-nya tidak melebihi benefit yang diperoleh.
Korupsi merupakan salah satu masalah utama dan menggagalkan terciptanya keadilan sosial pada bangsa ini. Korupsi inipun telah merasuk hingga sendi-sendi kehidupan bangsa sehingga membutuhkan partisipasi seluruh komponen bangsa terutama proses pendidikan. Pendidikan akuntansi saat ini hanya berkutat pada definisi, prosedur, metode bukannya pada kajian kritis, kreatifitas, dan mentalitas. Pola ini merupakan jiplakan pola yang diterapkan di barat. Pendidikan di Indonesia seyogyanya tidak ikut dalam arus pusaran pendidikan yang persis sama dengan pendidikan di barat. Pendidikan akuntansi di Indonesia adalah sistem dan konsep dasar pendidikan akuntansi yang seyogyanya merupakan citra realitas ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia itu sendiri. Sistem pendidikan akuntansi seyogyanya dikembangkan sesuai dengan UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003 yang dirumuskan dengan mendasarkan pada Pancasila.
Proses pendidikan akuntansi diharapkan dapat memperbaiki pandangan dunia seorang akuntan. Menurut Aji, Reiter dan Williams menganggap bahwa akuntan terutama akuntan publik dengan independensinya saat ini telah berubah dari karakter aslinya dari “judicial man” menjadi “economic man”. Reiter bahkan melihat karakter interdependensi yang muncul dalam kecenderungan akuntansi saat ini adalah mengarahkan perubahan independensi disesuaikan dengan tren yang berkembang saat ini, yaitu kepuasan pelanggan dan bersifat kooperatif (seperti Total Quality Management, Value Chains dan Learning Organizations). Hal ini jelas bertentangan dengan karakter profesi yang seyogyanya mementingkan kepentingan publik. Tentu saja hal ini akan menghalangi akuntan untuk berperan lebih besar dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Profesi akuntan yang mengembang amanat Pancasila ini memiliki ruang yang sangat besar dalam mewujudkan sila kelima pancasila. Akuntan berperan mengarahkan keberpihakan institusi yang tidak hanya terfokus pada pemilik modal atau pimpinan namun juga pada publik sehingga proses bisnisnya lebih transparan dan accountable bagi masyarakat umum. Hal ini tentu saja akan menghindarkan institusi dari perilaku yang tidak bertanggung jawab atau institusi terkait pemerintahan untuk berperilaku korup. Peran tersebut dapat dilakoni lewat internal maupun eksternal institusi. Tentu saja hal itu harus dibina atau dikader lebih awal lewat sebuah jenjang pendidikan formal maupun informal yang seyogyanya akan menghasilkan mental-mental altruis termasuk anti-korupsi untuk mempersiapkan sebuah keidupan yang berkeadilan sosial. Sungguh sebuah peran yang sangat mulia ketika penghayatan seorang akuntan bahkan profesi akuntan sendiri telah sampai pada titik itu. Transparansi dan akuntanbilitas tidak lagi direlatifkan oleh hijaunya mata memandang keindahan gaji, jabatan atau fee bagi akuntan.

Daftar Referensi
McPhail, Ken dan Diane Walters. 2009. Accounting and Business Ethics An introduction. New York: Routledge
Mulawarman, Aji Dedi. 2008. Rekonstruksi Independensi Akuntan Publik: Pandangan Islam. (Online), (http://ajidedim.wordpress.com/2008/03/21/rekonstruksi-independensi-akuntan-publik-pandangan-islam, diakses 19 Oktober 2010)
Wartono. 2006. Menuju Pengauditan Holistik dengan Pendekatan Yin Dan Yang: Upaya Meningkatkan Relevansi. Jurnal Akuntansi, Auditing, Dan Sistem Informasi (TEMA) Vol 7 No 1 Maret 2006

Selengkapnya...

Perkembangan bisnis dalam bentuk korporasi telah berlangsung sekurang-kurangnya sejak abad XVII, ketika pemerintah-pemerintah kolonial Eropa membentuk atau menyewa organisasi-organisasi non-pemerintah untuk mengelola perdagangan yang mereka kendalikan. Ketika itu, kegiatan korporasi ditentukan oleh pemerintah kolonial. Namun, berangsur-angsur kendali pemerintah atas korporasi dilepas bahkan badan-badan korporasi mendapat kedudukan sebagai "legal person", sama seperti individu dan memiliki hak-hak sipil tertentu.
Paruh kedua Abad XX mencatat korporasi komersial berkembang melintasi batas-batas negara dengan pengaruh (kekuasaan) yang melampaui kekuasaan negara-negara. Dalam dekade terakhir Abad XX, hak-hak pemilikan oleh korporasi (corporate property rights) yang menihilkan pemilikan publik dikukuhkan melalui aturan-aturan dagang multilateral. Dengan kata lain, kepemilikan publik digantikan oleh kepemilikan pribadi. Dekade yang sama juga mencatat bagaimana aturan-aturan global dibuat untuk memberi kemudahan bagi korporasi untuk memperluas pasar melalui liberalisasi ekonomi (program-program deregulasi dan privatisasi). Dengan demikian, korporasi akan semakin mempengaruhi hidup setiap orang. Korporasi ikut mempengaruhi, dan bahkan menjadi penentu keputusan politik di tingkat internasional sampai apa yang harus disantap untuk sarapan pagi.
Pengaruh korporasi yang begitu besar terhadap kehidupan manusia membuat berbagai pihak memberikan perhatian yang besar pada penguasa dunia ini. Hal ini dikarenakan pengaruh tersebut selain berupa manfaat bagi manusia juga menghadirkan mudarat bagi seisi dunia. Kapitalisme yang menjadi motivator ulung bagi korporasi modern saat ini semakin menurunkan kualitas hidup manusia dan alam secara keseluruhan. Perilaku korporasi saat ini juga terpengaruh oleh filsuf ateis Nitszche dengan slogannya ‘God is dead’ yang menjadi semangat zaman modern sehingga salah satu sumber moral pun terabaikan. Maksimalisasi profit pun menjadi Tuhan sehingga perilaku industri-industri dan bisnis-bisnis lain seringkali mengabaikan dampak yang ditimbulkan bagi umat manusia dan alam ini.
Akhirnya, rentetan bencana alam yang terjadi di dunia ini termasuk di Indonesia memunculkan persepsi dari banyak kalangan bahwa sektor bisnis dan industri berperan langsung atau tidak langsung terhadap terjadinya permasalahan lingkungan dunia dan nasional ini. Persepsi semacam ini berkembang di masyarakat luas dan politisi terutama di Eropa dan Amerika yang menganggap sektor bisnis dan industri tidak mempunyai sistem dan manajemen yang layak dalam mengelola sumberdaya alam, melakukan operasi perusahaan dan mengelola limbahnya.
Menurut Gray et. al., Tumbuhnya kesadaran publik akan peran perusahaan di tengah masyarakat melahirkan kritik karena menciptakan masalah sosial, polusi, sumber daya, limbah, mutu produk, tingkat safety produk, serta hak dan status tenaga kerja. Tekanan dari berbagai pihak memaksa perusahaan untuk menerima tanggung jawab atas dampak aktivitas bisnisnya terhadap masyarakat. Perusahaan dihimbau untuk bertanggung jawab terhadap pihak yang lebih luas dari pada kelompok pemegang saham dan kreditur saja.
Persepsi tersebut di banyak tempat kemudian bertransformasi menjadi tekanan dan tuntutan akan perubahan perilaku dan kinerja suatu perusahaan ke arah yang lebih bertanggung jawab. Menurut R Morimoto, J Ash dan C Hope: Increasing concerns about the effects of economic development on health, natural resources and the environment in the 1980s led the World Commission on Environment and Development to produce the Brundtland Report (1987). The report highlights three fundamental components of sustainable development: environmental protection, economic growth and social equity. These in turn are linked to the idea of intergenerational responsibility.
Sustainable development merupakan hak generasi masa kini untuk membangun tanpa menghilangkan rasa hormat kepada hak dan peluang generasi masa mendatang untuk membangun pula. Menurut Fachrul Islam, “Sustainable development menekankan agar generasi masa kini harus melakukan kegiatan-kegiatan pembangunan secara baik dan bertanggung jawab, sehingga tidak menimbulkan pelbagai dampak negatif yang menyebabkan generasi masa depan tidak dapat memenuhi kebutuhannya.” Rudnicki mengatakan: “thus, the essence of sustainable development has been identified as the rule of solidarity between generations.”
Hal inilah yang semakin memicu berkembangannya Corporate Social Responsibility (CSR) yang menekankan agar setiap perusahaan memiliki komitmen agar produk atau kegiatannya memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. John Elkington mengatakan:
“Jika sebuah perusahaan ingin bertahan lama, maka perusahaan tersebut perlu memerhatikan 3P, yaitu bukan cuma mencari laba (profit), tapi juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).”
CSR merupakan operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan.CSR diterapkan pada perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam konteks ekonomi global, nasional maupun lokal. CSR tidak hanya berkaitan dengan perusahaan-perusahaan “kelas kakap” saja tapi juga terkait dengan perusahan dengan label Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) baik sebagai subjek maupun objek CSR. Komitmen dan aktivitas CSR pada intinya merujuk pada aspek-aspek perilaku perusahaan (firm’s behaviour), termasuk kebijakan dan program perusahaan yang menyangkut dua elemen kunci, yaitu good corporate governance dan good corporate responsibility.
Perkembangan ini tentu saja mempengaruhi konsep dunia bisnis modern termasuk pada aspek pelaporan dan pertanggungjawaban. Hal ini juga terkait dengan tuntutan akan adanya transparansi dan akuntabilitas berkaitan dengan konsep good corporate governace sehingga mengharuskan adanya perubahan konsep pencatatan dalam sistem pelaporan organisasi. Akuntansi sebagai avant garde dalam pelaporan tentunya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru ini.
Hal tersebut memacu munculnya sebuah bidang baru dalam ilmu akuntansi yang terkait dengan konsep pelaporan CSR yaitu akuntansi sosial. Laporan yang diungkapkan kepada publik tersebut, saat ini dikenal dengan sebutan sustainability report. Melalui sustainability report, perusahaan melaporkan secara berkelanjutan (sustainability) dampak-dampak positif dan negatif dari tiga jenis kinerjanya, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Namun perbedaan persepsi dalam memahami CSR mengakibatkan penerapannya masih sangat realtif sehingga belum menghasilkan standar pelaporan yang berterima umum pula. Beberapa lembaga di berbagai negara memiliki konsep teoritis dan praktis mengenai CSR, di antaranya ISO 26000, The Global Reporting Initiative, Business Actions for Sustainable Development (BASD), The Conference Board of Canada (CBC), The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), The Commission for European Communities (CEC), dan GlobeScan.
Di Tanah Air, benih CSR yang telah tertanam lewat Corporate Sosial Activity (CSA) atau ‘aktivitas sosial perusahaan’ semakin terpupuk setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No. 40 Tahun 2007. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Meskipun telah diatur dalam undang-undang tersebut dan beberapa aturan-aturan sebelumnya yang telah menyentuh CSR, perdebatan konsep teoritis dan praksis CSR di Indonesia masih tetap bergaung.
Konsep penerapan CSR yang masih ‘kabur’ bagi berbagai pihak ini terutama di Indonesia tentu saja berpengaruh terhadap konsep pelaporannya. Kritikan yang muncul mengenai pelaporan CSR adalah belum adanya standar pelaporan yang pasti dan kebutuhan transparansi dan akuntabilitas yang lebih luas mengenai informasi yang ada dalam laporan. Hal ini memerlukan adanya verifikasi yang dilakukan terutama oleh pihak eksternal yang bersifat independen.
Hal tersebut akan memberikan pemahaman yang lebih pasti dan jelas bagi semua stakeholders mengenai apa yang terjadi dan apa yang diinginkan oleh pihak-pihak terkait dengan penerapan CSR. Hal ini menjadi alasan lahirnya sebuah konsep verifikasi yang baru baik oleh pihak eksternal maupun internal sebuah oragnisasi yang dikenal dengan audit sosial (social auditing). Konsep ini penting untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kinerja organisasi dari segi pertumbuhan ekonomi, perlindungan terhadap lingkungan dan keadilan sosial yang merupakan penekanan dari sustainability development.
Audit sosial bukan merupakan konsep yang baru lagi bagi negara-negara lain. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para akademisi dari negara tersebut sudah sampai pada usaha untuk memformulasikan sebuah standar audit sosial karena penerapan jenis audit ini tidak memiliki standar sebagaimana audit laporan keuangan. Namun, hal ini berbeda dengan kondisi di Indonesia yang belum menerapkan audit sosial apalagi mengharapkan adanya standar audit sosial sehingga perlu penelitian terlebih dahulu mengenai pentingnya implementasi audit sosial ini.

Selengkapnya...

Paruh kedua Abad XX mencatat korporasi komersial berkembang melintasi batas-batas negara dengan pengaruh (kekuasaan) yang melampaui kekuasaan negara-negara. Kapitalisme telah menjadi motivator ulung bagi korporasi modern saat ini yang semakin menurunkan kualitas hidup manusia dan alam secara keseluruhan. Perilaku korporasi saat ini terpengaruh oleh filsuf ateis Nitszche dengan slogannya ‘God is dead’ yang menjadi semangat zaman modern sehingga salah satu sumber moral pun terabaikan. Maksimalisasi profit pun menjadi Tuhan sehingga perilaku industri-industri dan bisnis-bisnis lain seringkali mengabaikan dampak yang ditimbulkan bagi umat manusia dan alam ini.
Akhirnya, rentetan bencana alam yang terjadi di dunia ini termasuk di Indonesia memunculkan persepsi dari banyak kalangan bahwa sektor bisnis dan industri berperan langsung atau tidak langsung terhadap terjadinya permasalahan lingkungan dunia dan nasional ini. Persepsi semacam ini berkembang di masyarakat luas dan politisi terutama di Eropa dan Amerika yang menganggap sektor bisnis dan industri tidak mempunyai sistem dan manajemen yang layak dalam mengelola sumberdaya alam, melakukan operasi perusahaan dan mengelola limbahnya.
Akuntansi dalam dunia bisnis terlalu berpihak pada stockholders daripada stakeholders, sehingga konsep akuntansi sekarang tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan situasi dan kehidupan yang aman berkeadilan, serta alam yang lestari dan terpelihara. Karena hal itu kemudian berkembang akuntansi lingkungan (environmental accounting). Akuntansi lingkungan dipertimbangkan karena menjadi perhatian bagi pemegang saham dengan cara mengurangi biaya yang berhubungan dengan lingkungan (contohnya : polusi) dan diharapkan dengan pengurangan biaya lingkungan akan tercipta kualitas lingkungan yang baik. Yang juga menjadi pendorong munculnya akuntansi lingkungan ialah kecenderungan terhadap kesadaran lingkungan. Dalam literatur, paradigma ini dikenal dengan the human exeptionalism paradigm menuju the environment paradigm atau juga terkait dengan kemunculan konsep triple bottom line.
Paradigma yang pertama mengungkapkan bahwa manusia merupakan makhluk yang unik di bumi ini yang memiliki kebudayaan dan sadar tidak dibatasi oleh kepentingan makhluk lain. Sebaliknya, paradigma yang kedua menganggap bahwa manusia adalah makhluk diantara bermacam-macam makhluk yang mendiami bumi yang saling memiliki keterkaitan sebab akibat dan dibatasi oleh sifat keterbatasan itu sendiri, baik ekonomi, social maupun politik. Paradigma yang terakhir inilah yang menjadi pedoman akuntansi lingkungan.
Konsep Akuntansi Lingkungan
Menurut Ikhsan (2008) Akuntasi lingkungan Environmental Accounting atau EA adalah istilah yang berkaitan dengan dimasukkannya biaya lingkungan (environmental costs) ke dalam praktek akuntasi perusahaan atau lembaga pemerintah. Biaya lingkungan adalah dampak (impact) baik moneter maupun non-moneter yang harus dipikul sebagai akibat dari kegiatan yang mempengaruhi kualitas lingkungan.
Akuntansi lingkungan mengidentifikasi, menilai dan mengukur aspek penting dari kegiatan sosial ekonomi perusahaan dalam rangka memelihara kualitas lingkungan hidup sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Sehingga perusahaan tidak bisa seenaknya untuk mengolah sumber daya tanpa memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat. Pemahaman sifat dan relevansi akuntansi lingkungan sangat beragam tergantung perspektif para profesional dan orientasi fungsional para praktisi.
Aspek-aspek yang menjadi bidang garap akuntansi lingkungan adalah sebagai berikut:
1. Pengakuan dan identifikasi pengaruh negatif aktifitas bisnis perusahaan terhadap lingkungan dalam praktek akuntansi konvensional.
2. Identifikasi, mencari dan memeriksa persoalan bidang garap akuntansi konvensional yang bertentangan dengan kriteria lingkungan serta memberikan alternatif solusinya.
3. Melaksanakan langkah-langkah proaktif dalam menyusun inisiatif untuk memperbaiki lingkungan pada praktik akuntansi konvensional.
4. Pengembangan format baru sistem akuntansi keuangan dan nonkeuangan, sistem pengendalian pendukung keputusan manajemen ramah lingkungan.
5. Identifikasi biaya-biaya (cost) dan manfaat berupa pendapatan (revenue) apabila perusahaan lebih peduli terhadap lingkungan dari berbagai program perbaikan lingkungan.
6. Pengembangan format kerja, penilaian dan pelaporan internal maupun eksternal perusahaan.
7. Upaya perusahaan yang berkesinambungan, akuntansi kewajiban, resiko, investasi biaya terhadap energi, limbah dan perlindungan lingkungan.
8. Pengembangan teknik-teknik akuntansi pada aktiva, kewajiban dan biaya dalam konteks non keuangan khususnya ekologi.
Dampak Isu Lingkungan terhadap Akuntansi Manajemen
Akuntansi lingkungan dapat diterapkan oleh perusahaan kecil maupun besar, manufaktur atau jasa dengan alasan Akuntansi lingkungan memerlukan cara baru dalam memandang biaya lingkungan perusahaan, kinerja dan keputusan perusahaan. Selain itu, akuntansi lingkungan bukan semata-mata permasalahan akuntansi, dan informasi diperlukan oleh semua kelompok entitas.
Akuntansi lingkungan dapat diterapkan dalam capital budgeting oleh perusahaan. Capital budgeting merupakan proses perencanaan investasi modal dan merupakan perbandingan antara biaya yang diprediksi dengan aliran penerimaan dari operasi serta investasi alternatif yang dapat dilakukan. Analisis keuangan atas alternatif investasi tersebut tidak memasukkan biaya lingkungan dan cost saving sehingga tidak mempertimbangkan kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari proses produksi.
Evaluasi terhadap investasi modal sangat berguna jika mempertimbangkan biaya lingkungan dan cost savings, dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi dan mengkuantitatifkan biaya lingkungan,
2. Mengalokasikan biaya lingkungan dan keuntungan yang diperoleh dan hal ini sangat tepat dengan menggunakan activity based costing (ABC),
3. Menggunakan indikator keuangan seperti time value of money,
4. Memprediksi keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan melihat cash flow dan profitabilitas perusahaan seperti economic life of the capital investment.
Akuntansi lingkungan dapat digunakan pada desain produk dan proses produksi oleh perusahaan. Desain produk dan proses produksi memiliki pengaruh signifikan pada kinerja dan biaya lingkungan. Proses desain memerlukan balancing cost, performance cultural, legal dan environment criteria. Perusahaan yang mengadopsi desain lingkungan (life cycle design) akan mempertimbangkan evaluasi alternatif desain ke dalam biaya lingkungan, kinerja, budaya dan peraturan yang ada. Pengungkapan informasi biaya lingkungan dan kinerja yang dibutuhkan designer mendukung desain dan pemrosesan produk yang lebih baik. Selain itu, pada setiap tahapan siklus hidup terjadi emisi dan konsumsi sumberdaya. Dampak lingkungan dari keseluruhan siklus hidup produk dan jasa perlu diketahui. Untuk melakukan ini, pemikiran siklus hidup semakin diperlukan. Life Cycle Assessment (LCA) menyediakan adalah alat (tool) bagi evaluasi sistematis aspek lingkungan dari produk dan sistem jasa diseluruh tahapan siklus hidup. LCA menyediakan instrument yang cukup untuk mendukung keputusan lingkungan.
Environmental Management Accounting (EMA)
EMA merupakan salah satu bidang disiplin ilmu akuntansi yang aktivitasnya bertujuan memberikan informasi pada manajemen atas pengelolaan lingkungan dan dampaknya terhadap biaya produksi. EMA diharapkan akan menjadi salah satu rangkaian sistem yang bertujuan untuk mengukur kinerja suatu perusahaan. Sehingga tercapai model pengukuran kinerja yang seimbang antara ukuran financial profit dengan kinerja pengelolaan lingkungan.
EMA dirumuskan berdasarkan dua pendekatan yaitu pertama prosedur aliran fisik atas konsumsi dan pembuangan material dan energi (material flow balance procedure), kedua prosedur pengukuran nilai atas biaya, penghematan dan pendapatan (monetary procedure) yang berhubungan dengan kemungkinan dampak lingkungan. Kedua pendekatan tersebut sebagai dasar dalam mengidentifikasi, mengukur dan mengalokasikan biaya lingkungan. Bagi manajer hal ini penting sebab selain dapat dihasilkan harga pokok produksi yang tepat atas lokasi biaya lingkungan, juga sebagai dasar pengendalian biaya lingkungan dimasa yang akan datang. Sehingga dapat dihasilkan produk yang ramah lingkungan.
EMA dapat mendukung system pengelolaan lingkungan dan pengambilan keputusan dengan tujuan perbaikan target dan pemilihan investasi. Kinerja keuangan dan kinerja lingkungan merupakan indikator penting untuk mengendalikan dan menjadi pedoman dalam pencapaian tujuan.
Konsep prosedur aliran fisik material memberikan informasi penting dalam mengukur kinerja manajemen lingkungan. Sedangkan prosedur pengukuran nilai memberi dasar dalam mengidentifikasi biaya dan dasar alokasi sehingga dapat diukur biaya, penghematan dan pendapatan atas pengelolaan pengelolaan lingkungan.
Berbagai biaya telah dikeluarkan oleh perusahaan dalam melindungi dan memperbaiki kerusakan lingkungan. Biaya tersebut antara lain biaya pengurangan pencemaran, pengelolaan limbah, pengendalian limbah, biaya mentaati peraturan dan biaya asuransi.
Sistem akuntansi biaya konvensional memperlakukan biaya lingkungan dan biaya bukan lingkungan ke dalam rekening yang sama yaitu overhead. Perlakuan ini menghasilkan biaya tersembunyi atas biaya lingkungan untuk manajemen. Hal ini membuktikan bahwa manajemen cenderung underestimate mengembangkan dan meningkatkan kepedulian terhadap biaya lingkungan. Dengan sistem identifikasi, penilaian, dan alokasi biaya lingkungan, EMA memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi dan mengukur penghematan biaya yang dapat dilakukan oleh perusahaan. Sehingga manajemen mempunyai informasi untuk mengontrol dan mengendalikan biaya lingkungan demi tercapainya produk yang efisien dan murah.
Terdapat dua pendekatan dalam merumuskan EMA, yaitu :
1. Monetary Accounting (berbasis pada monetary procedure) merupakan upaya mengidentifikasi, mengukur dan mengalokasikan biaya lingkungan berdasarkan perilaku aliran keuangan dalam biaya tersebut.
2. Physical Accounting (berbasis pada material flow balance procedure) adalah suatu pendekatan untuk mengidentifikasi berbagai perilaku sumber biaya lingkungan. Hal ini akan berguna bagi manajemen untuk dasar alokasi biaya lingkungan yang terjadi.
Dengan pendekatan gabungan ini dapat dihasilkan alokasi biaya produksi yang tepat sehingga benar-benar mencerminkan harga pokok yang akurat setiap produk. Selain itu manajemen dapat melakukan pengendalian terhadap aktivitas produksi yang mengakibatkan munculnya berbagai biaya lingkungan.
EMA merupakan konsep komprehensif untuk mengidentifikasi sumber biaya dan mengukur biaya lingkungan. Menurutnya limbah menjadi mahal bukan karena biaya pembuangannya, tetapi karena terbuangnya nilai beli bahan. Sehingga limbah merupakan pertanda inefisiensi produksi. Namun EMA mempunyai kelemahan, yaitu kurang bakunya definisi atas biaya lingkungan dan tarikan kepentingan dari pihak manajemen dalam melaporkan biaya lingkungan.
Penutup
Empat topik akuntansi manajemen utama berhubungan dengan konteks lingkungan, yaitu: product costing dan alokasi biaya overhead (activity based cocting), capital budgeting, akuntansi pertanggungjawaban (responsibility accounting), analisis siklus hidup (life cicle analysis). Isu lingkungan dapat digunakan sebagai kerangka pemikiran dalam proses pengambilan keputusan dan fungsi perencanaan dan pengendalian manajemen. Dampak kepedulian lingkungan dapat diteliti dalam bidang akuntansi pertanggungjawwaban, metode penentuan harga pokok dan alokasi overhead, analisi selisih, perilaku biaya dan analisis capital budgeting.

Selengkapnya...

CREATIVE ACCOUNTING
06.28 | Author: King Adoll

Akuntansi seringkali dianggap sebagai ilmu yang sempurna dan dapat memberikan informasi yang tepat, objektif, dan dapat diandalkan karena berkaitan dengan pencatatan dan pengukuran angka-angka. Namun, akuntansi dalam prosesnya sangat erat kaitannya dengan subjektifitas akuntan dalam proses penghitungan dan pengalokasian, dalam bahasa ‘kerennya’ dikenal dengan istilah judgement. Fleksibiltas dan subjektifitas akuntansi ini memberikan peluang kepada akuntan untuk lebih kreatif dan menghasilkan infromasi sesuai dengan kebutuhan pihak tertentu. Hal ini dikenal dengan creative accounting.
Creative accounting menurut Jameson adalah sebuah proses yang menggunakan aturan-aturan yang menyediakan fleksibilitas untuk membuat laporan keuangan keuangan kelihatan berbeda dari yang dimaksudkan aturan tersebut. Creative accounting biasa digambarkan sebagai fiddling atau cooking the books, earning management, manipulasi, kebohongan dan penyajian yang keliru, dan sebagai sebuah penyalahgunaan sistem akuntansi. Creative accounting tetap ada karena standar akuntansi mengisyaratkan adanya pengambilan keputusan. Creative accounting tidak melanggar hukum karena menggunakan celah dalam sebuah aturan namun ia melanggar tujuan dari hukum tersebut.
Keberadaan creative accounting tidak terlepas dari motif perusahaan. Akuntansi layaknya sebuah produk yang tergantung pada kekuatan supply dan demand, dan akuntan dengan insentif mungkin menyediakan hasil sesuai dengan permintaan. Angka-angka akuntansi menggambarkan hubungan antara bisnis, pemberi pinjaman, manajer, politikus, karyawan, pelanggan dan pemasok dan bisnis memiliki insentif untuk menggunakan metode akuntansi untuk menghasilkan hasil yang terbaik untuk menarik investor dan meningkatkan bonus manajer.
Motif creative accounting adalah dengan menggunakan income smoothing yakni terkadang menunjukkan laba perusahaan yang stabil pada periode tertentu dengan menggunakan biaya atau pendapatan pada periode lain. Akuntan hanyalah bagian dalam proses ini dan tidak sendirian karena manjemen lain juga terlibat.
Menurut Shah, creative accounting dapat terjadi karena tiga alasan:
o Penilaian dan pilihan dalam aturan akuntansi
o Penciptaan transaksi palsu
o Penciptaan instrumen keuangan baru dan kompleks.
Mulford dan Comisky mengilustrasikan empat metode creative accounting:
o Pengakuan pendapatan yang belum waktunya atau pendapatan palsu
o Kapitalisasi biaya dan menggunakan periode yang lebih luas dalam mengamortisasi aset
o Klasifikasi dan pengungkapan
o Pengukuran laba pro-forma
Metode umum lainnya yang biasa digunakan dalam creative accounting termasuk kapitalisasi bunga, depresiasi, brand accounting, stock valuation. Berikut ini beberapa hal dalam akuntansi terakait dengan peluang creative accounting:
Sistem akuntansi-Ketika seorang akuntan diberikan sebuah fakta yang sama, mungkin saja mereka memberikan perlakuan yang berbeda. Fleksibilitas dalam sistem akuntansi inilah yang memberikan peluang terjadinya creative accounting. Fleksibilitas ini dapat dilihat dengan adanya sistem cash dan accrual basis accounting begitupula penggunan historical cost dan current cos dan lain-lainnya. Keputusan untuk memilih metode tertentu akan memberikan pengaruh yang besar terhadap informasi yang disajikan akuntansi. Kehadiran IFRS di pandang mengurangi hal tersebut namun IFRS sendiri menyediakan ruang yang semakin karena standar ini principle-based standard.
Aset dan estimasi-Penggunaan historical cost dalam menilai aset memberikan gambaran yang tidak sesuai dengan keadaan sekarang. Untuk mengatasi masalah ini, aset diniali secara regular atau dengan fair value. Penilaian ini angat kental dengan unsur subjektifitas dan dikontekskan dengan isu-isu.
Persediaan-Terdapat sejumlah cara dalam akuntansi persediaan. Persediaan dapat dinilai langsung, atau dengan menambah biaya lain yang termasuk sejak perolehan persediaan hingga kondisi terakhir sebelum dijual. Sebagai contoh, diskon pembelian bisa saja digunakan untuk mengambarkan nilai persediaan yang rendah dan akan menggambarkan profit yang lebih tinggi.
Kewajiban dan off-balance sheet financing-Penggunaan instrumen keuangan baik dalam restrukturisasi, spekulasi dan tujuan hedging menambah kompleksitas sehingga memberikan peluang baru bagi akuntan dan manajer untuk menemukan cara baru dalam memanipulasi laporan keuangan.
Kontrak jangka panjang dan pengakuan pendapatan-Akuntansi untuk kontrak jangka panjang memberikan peluang untuk creative accounting dengan adanya pendapatan dari kontrak yang tidak pasti untuk tipa periodenya. Akuntan bisa menggunakanya untuk income smooth.
Kapitalisasi dan penundaan biaya-Profit ditentukan dengan mengurangi biaya dari pendapatan; biaya merupakan titik utama dalam proses creative accounting. Mengurangi biaya dapat dilakukan dengan menunda biaya hingga periode ke depan, kapitalisasi mereka atau membebankannya ke akun yang ditetapkan.
Merger dan take overs-Dalam kasus merger atau pengambilalihan, akuntan memiliki motivasi untuk menunjukkan bahwa perusahaan dalam keadaan sehat dan going concern. Hal yang dilakukan adaalah dengan menyajikan periode setelah pengambilalihan ke periode sekarang sehingga memberikan gambaran bagus tentang perusahaan.
Translasi mata uang asing-Bisnis yang memiliki operasi lintas negara menghadapi dua masalah akuntansi: pengungkapan transaksi dan translasi. Hal ini sangat kompleks perlakuannya sehingga peluang creative accounting semakin besar.
Transfer pricing-Kebijakan transfer pricing tidak memiliki aturan universal berterima umum. Transfer pricing biasanya digunakan untuk menghindari pajak.
Penganggaran-Performa manajer biasanya dimonitor lewat anggarang yang mereka persiapkan. Dengan mengolah anggaran, manajemen mempersiapkan diri mereka dengan target yang dapat dicapai untuk sebuah pencapaian impresif.

Selengkapnya...

Gayus Bernyanyi