Akuntansi pada yang dasarnya merupakan alat untuk mengkalkulasi biaya (beban) dengan pendapatan sedang dipertanyakan keberadaannya ke depan karena ditengarai tidak mampu lagi mengakomodasi realitas bisnis yang semakin kompleks. Perkembangan konsep korporasi, aspek-aspek sosial dan lingkungan menjadi isu hangat yang sering dikaitkan dengan dunia bisnis ini yang tentu saja memiliki akuntansi dan akuntan di dalamnya. Akuntansi yang notabane-nya menjadi tumpuan untuk mengetahui dan menganalisis keadaan keuangan suatu entitas terkadang tidak kuasa memberikan informasi yang optimal karena keterbatasan dalam dirinya. Hal ini jelaslah sangat memperihatinkan karena akan mempengaruhi keputusan yang diambil. Selain cacat pada diri akuntansi itu sendiri, terkadang informasi yang dihasilkan tidak bebas nilai karena perilaku penyaji yang memoles data itu sehingga kelihatan menarik bagi pemakai.
Kasus Enron merupakan potret nyata keterbatasan sistem akuntansi dan akuntannya ini. Enron tidak sendirian dalam menunjukkan cacat ini, perusahaan telekomunikasi WorldCom harus dipaksa menyatakan kebangkrutannya setelah memanipulasi keuntungannya selama 3 periode sebelumnya. Selain Enron dan WorldCom masih terdapat teman-temanya yang lain di antaranya Adelphia, Merck ,Xerox, Arthur Andersen, dan lain-lain. Tidak perlu melihat gajah yang mati di halaman orang lain, di Indonesia sendiri terdapat album suram sistem ini, diantaranya kasus PT.Kimia Farma yang keliru dalam laporan keuangan konsolidasi, PT. Telkom Tbk, PT. BNI, PT. Indo Farma. Tentunya orang tahu bahwa Enron Cs ini bukanlah entitas bisnis kemarin sore, mereka inilah yang sering kali mengundang decak kagum seantero nusantara dan dunia ini.
Keadaan akuntansi dan akuntannya yang sangat lemah ini mengundang kritikan dari beberapa pihak. Salah satunya adalah Baruch Lev, menurutnya akuntansi ini adalah bagian dari ekonomi model lama bahkan bagian dari Luka Pacioli era 1400 an. Selanjutnya Lev mengatakan akuntan bukan “a good eyesight”. Lensa lama tidak akan bisa melihat situasi ekonomi baru. Sebagai contoh kecil kebablasan akuntansi melawan kerasnya bertahan hidup dalam zaman ini adalah dengan munculnya intangible assets seperti kekayaan berupa merek, cara kerja, goodwill, franchise, dan lain-lain.
Kritikan juga muncul dari Bazerman yang mengatakan bahwa akuntan itu memiliki unconscious bias, sesuatu yang bias yang terjadi tanpa disadarinya disebabkan adanya ‘self serving bias’. Self serving bias ini muncul disebabkan 6 faktor psikis: (1) Ambiguity dari ilmu akuntansi karena banyaknya persoalan yang memerlukan pertimbangan dan kebijakan subjektif, (2) Attachement, terhadap kepentingan nasabah karena akuntan ditunjuk dan dibayar oleh perusahaan, (3) Approval, dimana akuntan selalu cenderung menerima dan menyetujui judgement perusahaan, (4) Familiarity merupakan sifat dimana kita lebih mengutamakan membela kenalan daripada orang asing yang belum dikenal, (5) Discounting dimana orang orang cenderung merespon akibat yang akan muncul segera dan menunda risiko yang masih lama, (6) Escalation merupakan kecenderungan untuk menyembunyikan atau mengabaikan hal-hal yang bersifat minor.
Melihat kritikan yang banyak muncul baik dari praktisi, akademisi maupun masyarakat ternyata kritikan tidak hanya ditujukan pada sistem akuntansi yang menjadi tulang punggung kerajaan kapitalisme tapi juga ditujukan pada akuntan-akuntannya. Kritikan beserta fakat-fakta yang disajikan realitas akuntansi ini, sebenarnya telah melecut para pemikir untuk menciptakan konsep-konsep baru untuk mengatasi kelemahan ini. Hal ini dapat dilihat dengan adanya Sarbanes-Oxley Act (SOA). Sarbanes- Oxley Act muncul untuk mengatasi keterpurukan akuntansi di Amerika yang dipicu munculnya kasus Enron. Namun berbagai pihak melihat langkah ini dengan pesimis karena hanya mengatasi masalah teknis dan tidak mengatasi kelemahan dalam diri akuntansi. Menurutnya masalah utama akuntansi terletak pada filosofinya sehingga jika tidak diperbaiki maka tidak heran jika krisis demi krisis ekonomi akan terus berulang.
Berdasarkan situasi ini maka jika akuntansi tetap pada “óld law of accounting” maka akuntansi bisa hanya tinggal nama, atau mungkin hanya hiasan museum saja, dan tidak dipakai lagi masyarakat.
Selengkapnya...
Kasus Enron merupakan potret nyata keterbatasan sistem akuntansi dan akuntannya ini. Enron tidak sendirian dalam menunjukkan cacat ini, perusahaan telekomunikasi WorldCom harus dipaksa menyatakan kebangkrutannya setelah memanipulasi keuntungannya selama 3 periode sebelumnya. Selain Enron dan WorldCom masih terdapat teman-temanya yang lain di antaranya Adelphia, Merck ,Xerox, Arthur Andersen, dan lain-lain. Tidak perlu melihat gajah yang mati di halaman orang lain, di Indonesia sendiri terdapat album suram sistem ini, diantaranya kasus PT.Kimia Farma yang keliru dalam laporan keuangan konsolidasi, PT. Telkom Tbk, PT. BNI, PT. Indo Farma. Tentunya orang tahu bahwa Enron Cs ini bukanlah entitas bisnis kemarin sore, mereka inilah yang sering kali mengundang decak kagum seantero nusantara dan dunia ini.
Keadaan akuntansi dan akuntannya yang sangat lemah ini mengundang kritikan dari beberapa pihak. Salah satunya adalah Baruch Lev, menurutnya akuntansi ini adalah bagian dari ekonomi model lama bahkan bagian dari Luka Pacioli era 1400 an. Selanjutnya Lev mengatakan akuntan bukan “a good eyesight”. Lensa lama tidak akan bisa melihat situasi ekonomi baru. Sebagai contoh kecil kebablasan akuntansi melawan kerasnya bertahan hidup dalam zaman ini adalah dengan munculnya intangible assets seperti kekayaan berupa merek, cara kerja, goodwill, franchise, dan lain-lain.
Kritikan juga muncul dari Bazerman yang mengatakan bahwa akuntan itu memiliki unconscious bias, sesuatu yang bias yang terjadi tanpa disadarinya disebabkan adanya ‘self serving bias’. Self serving bias ini muncul disebabkan 6 faktor psikis: (1) Ambiguity dari ilmu akuntansi karena banyaknya persoalan yang memerlukan pertimbangan dan kebijakan subjektif, (2) Attachement, terhadap kepentingan nasabah karena akuntan ditunjuk dan dibayar oleh perusahaan, (3) Approval, dimana akuntan selalu cenderung menerima dan menyetujui judgement perusahaan, (4) Familiarity merupakan sifat dimana kita lebih mengutamakan membela kenalan daripada orang asing yang belum dikenal, (5) Discounting dimana orang orang cenderung merespon akibat yang akan muncul segera dan menunda risiko yang masih lama, (6) Escalation merupakan kecenderungan untuk menyembunyikan atau mengabaikan hal-hal yang bersifat minor.
Melihat kritikan yang banyak muncul baik dari praktisi, akademisi maupun masyarakat ternyata kritikan tidak hanya ditujukan pada sistem akuntansi yang menjadi tulang punggung kerajaan kapitalisme tapi juga ditujukan pada akuntan-akuntannya. Kritikan beserta fakat-fakta yang disajikan realitas akuntansi ini, sebenarnya telah melecut para pemikir untuk menciptakan konsep-konsep baru untuk mengatasi kelemahan ini. Hal ini dapat dilihat dengan adanya Sarbanes-Oxley Act (SOA). Sarbanes- Oxley Act muncul untuk mengatasi keterpurukan akuntansi di Amerika yang dipicu munculnya kasus Enron. Namun berbagai pihak melihat langkah ini dengan pesimis karena hanya mengatasi masalah teknis dan tidak mengatasi kelemahan dalam diri akuntansi. Menurutnya masalah utama akuntansi terletak pada filosofinya sehingga jika tidak diperbaiki maka tidak heran jika krisis demi krisis ekonomi akan terus berulang.
Berdasarkan situasi ini maka jika akuntansi tetap pada “óld law of accounting” maka akuntansi bisa hanya tinggal nama, atau mungkin hanya hiasan museum saja, dan tidak dipakai lagi masyarakat.