TERORISME ala IFRS
21.37 | Author: King Adoll

Proyek besar Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sekarang adalah menyambut kedatangan ‘tamu spesial’ yang akan mendiami otak hingga mengakar dalam alam bawah sadar sebagian besar akuntan dan masyarakat Indonesia. Prof. Iwan Triyuwono menyebut tamu spesial ini sebagai ‘makhluk baru’. Tamu spesial ini merupakan spesies baru dari makhluk kapitalis yang dipercayai memiliki fitur-fitur yang lebih canggih dari spesies lainnya. International Financial Reporting Standard (IFRS) berusaha didogmakan memberikan informasi yang lebih relevan dan reliastis dibanding GAAP. IFRS yang mencoba mengatasi kemandegkan akuntansi dalam memberikan informasi yang realistis mengenai informasi keuangan suatu entitas perlu dipandang sebagai khazanah baru dalam ilmu akuntansi.
Namun sebagai sebuah ilmu, dengan menggunakan paradigma kritis, IFRS tidak terlepas dari nilai-nilai tertentu yang inheren di dalamnya. Akuntansi bukanlah proses tekhnikal dan amoral semata. Pandangan dunia yang digunakan oleh IASB dalam merumuskan IFRS masih terjajah oleh pandangan duniawi kapitalistik. Arah mata pembaca dari sebuah Laporan Posisi Keuangan (Neraca) masih diarahkan kepada pojok kanan bawah (ekuitas). Meskipun fair value hadir terutama untuk memperbaiki informasi pada pojok kiri (asset), namun hal itu bertujuan untuk memberikan informasi yang lebih relevan terhadap nilai ekuitas . Fair value yang menjadi ‘jualan utama’ IFRS pun ternyata masih merupakan pilihan dalam IFRS untuk diterapkan dan bukan suatu kemutlakan.
Seperti GAAP US, IFRS juga lahir dan tumbuh dalam paradigma yang disebut oleh Fritjof Capra sebagai paradigma Cartesian. Segala sesuatu harus dikuantitatifkan, ukuran keberhasilan perusahaan harus dinilai dengan angka. Sepertinya akuntansi pun dianggap sebagaimana mesin arloji dimana ketidakstabilan dikarenakan oleh adanya bagian tertentu yang yang rusak dalam mesin itu sehingga hanya perlu memperbaiki bagian itu. Kritikan utama terhadap sistem akuntansi yang mendominasi sebelumnya mengarah pada historical cost sehingga hal itu diperbaiki dengan menonjolkan fair value dan menganggap bahwa masalah sudah terselesaikan. Tentulah Saya tidak melihat IFRS sebagai fair value saja tapi IFRS-lah yang melihat dirinya seperti itu dengan menyerang GAAP tidak mampu memberikan gambaran real dari kondisi keuangan perusahaan. Seharusnya IFRS juga melihat dirinya tidak menggmbarkan realistas yang sebenarnya dari perusahaan bahkan tidak mampu menjelaskan mengapa nilai perusahaan atau total asset tidak sama dengan nilai saham perusahaan yang mewakili penilaian publik terhadap perusahaan kecuali dengan jembatan goodwill.
Keberhasilan pandangan kapitalistik dalam merekonstruksi kelemahan sistem sebelumnya tentulah semakian memukau masyarakat. Sejalan dengan teori evolusi Darwin, IFRS hadir sebagai jawaban dalam menghadapi tantangan kritikus dan perkembagan lingkungan bisnis dan tidaklah memerlukan usaha yang begitu besar untuk mendikte para akuntan dan masyarakat umum untuk menyembahnya. IASB cukup menggunakan jubah IFAC dan mengancam untuk mengeluarkan keanggotan dari IFAC bagi yang tidak berniat menerapkan IFRS. Selain itu, juga dengan mencekoki negara-negara yang termasuk dalam G20 dan juga menggadeng bursa-bursa saham. IFRS pun menjelma menjadi agen kapitalisme dan neo-liberalisme dalam melanggengkan kekuasaannya dengan berusaha untuk menyeragamkan standar akuntansi yang berlaku.
Hal tersebut tentu merupakan serangan bagi perkembangan pandangan dunia yang tidak mempertuhankan kapital. Sistem-sistem akuntansi yang lahir dari pemikiran dan landasan filosofis berbeda tentu saja merasakan sebuah serangan baru layaknya teroris menyerang targetnya. Sistem akuntansi yang berlandaskan Islam yang sedang berkembang bersamaan dengan kemunculan isu-isu sosial dan lingkungan dalam dunia bisnis termasuk akuntansi sepertinya ditimpuki oleh IFRS sebagaimana dalam permaianan ‘pukul kepala anjing’.
Sistem akuntansi yang berlandaskan Islam diserang mulai dari ketidakmampuan konsep ini mewadahi kepentingan relevansi informasi hingga kepentingan kepentingan verifikasi informasi yang dihasilkan. Kaitan akuntansi dengan isu-isu sosial yang mendorong perkembangan akuntansi sosial pun diserang hampir dengan pola yang sama termasuk perdebatan mengenai definisi tanggung jawab sosial yang tak kunjung selesai. Serangan lain yang muncul dari IFRS adalah adanya pola akuntansi direduksi menjadi hanya ada dalam perusahaan-perusahaan besar. Akuntansi yang memiliki muatan lokal tentu semakin terkebiri oleh hadirnya IFRS. Sepertinya petani semakin tidak akan pernah memikirkan untuk menggunakan akuntansi dalam kehidupannya.
Serangan IFRS ala teroris ini tidak hanya mengarah pada lembaga akuntansi dan standar akuntansi, namun juga mengarah pada individu masyarakat. IFRS sebagai agen kapitalisme membibing akuntan dan masyarakat melihat kinerja suatu entitas dalam ukuran uang yang akan menular pada pengukuran kinerja individu. Perilaku baik, shaleh, ramah, suka menolong bertenggang rasa dan perilaku lainya yang sering diajarkan dari pendidikan dasar tidak akan menjadi dasar penilaian.
Pemerintah dan sebagian besar akuntan begitupula masyarakat bisnis dengan sorak-sorai mengucapkan:
Selamat Datang Penjajah!!!
Selamat Datang Teroris!!!

Selengkapnya...

Gayus Bernyanyi