Perkembangan bisnis dalam bentuk korporasi telah berlangsung sekurang-kurangnya sejak abad XVII, ketika pemerintah-pemerintah kolonial Eropa membentuk atau menyewa organisasi-organisasi non-pemerintah untuk mengelola perdagangan yang mereka kendalikan. Ketika itu, kegiatan korporasi ditentukan oleh pemerintah kolonial. Namun, berangsur-angsur kendali pemerintah atas korporasi dilepas bahkan badan-badan korporasi mendapat kedudukan sebagai "legal person", sama seperti individu dan memiliki hak-hak sipil tertentu.
Paruh kedua Abad XX mencatat korporasi komersial berkembang melintasi batas-batas negara dengan pengaruh (kekuasaan) yang melampaui kekuasaan negara-negara. Dalam dekade terakhir Abad XX, hak-hak pemilikan oleh korporasi (corporate property rights) yang menihilkan pemilikan publik dikukuhkan melalui aturan-aturan dagang multilateral. Dengan kata lain, kepemilikan publik digantikan oleh kepemilikan pribadi. Dekade yang sama juga mencatat bagaimana aturan-aturan global dibuat untuk memberi kemudahan bagi korporasi untuk memperluas pasar melalui liberalisasi ekonomi (program-program deregulasi dan privatisasi). Dengan demikian, korporasi akan semakin mempengaruhi hidup setiap orang. Korporasi ikut mempengaruhi, dan bahkan menjadi penentu keputusan politik di tingkat internasional sampai apa yang harus disantap untuk sarapan pagi.
Pengaruh korporasi yang begitu besar terhadap kehidupan manusia membuat berbagai pihak memberikan perhatian yang besar pada penguasa dunia ini. Hal ini dikarenakan pengaruh tersebut selain berupa manfaat bagi manusia juga menghadirkan mudarat bagi seisi dunia. Kapitalisme yang menjadi motivator ulung bagi korporasi modern saat ini semakin menurunkan kualitas hidup manusia dan alam secara keseluruhan. Perilaku korporasi saat ini juga terpengaruh oleh filsuf ateis Nitszche dengan slogannya ‘God is dead’ yang menjadi semangat zaman modern sehingga salah satu sumber moral pun terabaikan. Maksimalisasi profit pun menjadi Tuhan sehingga perilaku industri-industri dan bisnis-bisnis lain seringkali mengabaikan dampak yang ditimbulkan bagi umat manusia dan alam ini.
Akhirnya, rentetan bencana alam yang terjadi di dunia ini termasuk di Indonesia memunculkan persepsi dari banyak kalangan bahwa sektor bisnis dan industri berperan langsung atau tidak langsung terhadap terjadinya permasalahan lingkungan dunia dan nasional ini. Persepsi semacam ini berkembang di masyarakat luas dan politisi terutama di Eropa dan Amerika yang menganggap sektor bisnis dan industri tidak mempunyai sistem dan manajemen yang layak dalam mengelola sumberdaya alam, melakukan operasi perusahaan dan mengelola limbahnya.
Menurut Gray et. al., Tumbuhnya kesadaran publik akan peran perusahaan di tengah masyarakat melahirkan kritik karena menciptakan masalah sosial, polusi, sumber daya, limbah, mutu produk, tingkat safety produk, serta hak dan status tenaga kerja. Tekanan dari berbagai pihak memaksa perusahaan untuk menerima tanggung jawab atas dampak aktivitas bisnisnya terhadap masyarakat. Perusahaan dihimbau untuk bertanggung jawab terhadap pihak yang lebih luas dari pada kelompok pemegang saham dan kreditur saja.
Persepsi tersebut di banyak tempat kemudian bertransformasi menjadi tekanan dan tuntutan akan perubahan perilaku dan kinerja suatu perusahaan ke arah yang lebih bertanggung jawab. Menurut R Morimoto, J Ash dan C Hope: Increasing concerns about the effects of economic development on health, natural resources and the environment in the 1980s led the World Commission on Environment and Development to produce the Brundtland Report (1987). The report highlights three fundamental components of sustainable development: environmental protection, economic growth and social equity. These in turn are linked to the idea of intergenerational responsibility.
Sustainable development merupakan hak generasi masa kini untuk membangun tanpa menghilangkan rasa hormat kepada hak dan peluang generasi masa mendatang untuk membangun pula. Menurut Fachrul Islam, “Sustainable development menekankan agar generasi masa kini harus melakukan kegiatan-kegiatan pembangunan secara baik dan bertanggung jawab, sehingga tidak menimbulkan pelbagai dampak negatif yang menyebabkan generasi masa depan tidak dapat memenuhi kebutuhannya.” Rudnicki mengatakan: “thus, the essence of sustainable development has been identified as the rule of solidarity between generations.”
Hal inilah yang semakin memicu berkembangannya Corporate Social Responsibility (CSR) yang menekankan agar setiap perusahaan memiliki komitmen agar produk atau kegiatannya memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. John Elkington mengatakan:
“Jika sebuah perusahaan ingin bertahan lama, maka perusahaan tersebut perlu memerhatikan 3P, yaitu bukan cuma mencari laba (profit), tapi juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).”
CSR merupakan operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan.CSR diterapkan pada perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam konteks ekonomi global, nasional maupun lokal. CSR tidak hanya berkaitan dengan perusahaan-perusahaan “kelas kakap” saja tapi juga terkait dengan perusahan dengan label Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) baik sebagai subjek maupun objek CSR. Komitmen dan aktivitas CSR pada intinya merujuk pada aspek-aspek perilaku perusahaan (firm’s behaviour), termasuk kebijakan dan program perusahaan yang menyangkut dua elemen kunci, yaitu good corporate governance dan good corporate responsibility.
Perkembangan ini tentu saja mempengaruhi konsep dunia bisnis modern termasuk pada aspek pelaporan dan pertanggungjawaban. Hal ini juga terkait dengan tuntutan akan adanya transparansi dan akuntabilitas berkaitan dengan konsep good corporate governace sehingga mengharuskan adanya perubahan konsep pencatatan dalam sistem pelaporan organisasi. Akuntansi sebagai avant garde dalam pelaporan tentunya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru ini.
Hal tersebut memacu munculnya sebuah bidang baru dalam ilmu akuntansi yang terkait dengan konsep pelaporan CSR yaitu akuntansi sosial. Laporan yang diungkapkan kepada publik tersebut, saat ini dikenal dengan sebutan sustainability report. Melalui sustainability report, perusahaan melaporkan secara berkelanjutan (sustainability) dampak-dampak positif dan negatif dari tiga jenis kinerjanya, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Namun perbedaan persepsi dalam memahami CSR mengakibatkan penerapannya masih sangat realtif sehingga belum menghasilkan standar pelaporan yang berterima umum pula. Beberapa lembaga di berbagai negara memiliki konsep teoritis dan praktis mengenai CSR, di antaranya ISO 26000, The Global Reporting Initiative, Business Actions for Sustainable Development (BASD), The Conference Board of Canada (CBC), The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), The Commission for European Communities (CEC), dan GlobeScan.
Di Tanah Air, benih CSR yang telah tertanam lewat Corporate Sosial Activity (CSA) atau ‘aktivitas sosial perusahaan’ semakin terpupuk setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No. 40 Tahun 2007. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Meskipun telah diatur dalam undang-undang tersebut dan beberapa aturan-aturan sebelumnya yang telah menyentuh CSR, perdebatan konsep teoritis dan praksis CSR di Indonesia masih tetap bergaung.
Konsep penerapan CSR yang masih ‘kabur’ bagi berbagai pihak ini terutama di Indonesia tentu saja berpengaruh terhadap konsep pelaporannya. Kritikan yang muncul mengenai pelaporan CSR adalah belum adanya standar pelaporan yang pasti dan kebutuhan transparansi dan akuntabilitas yang lebih luas mengenai informasi yang ada dalam laporan. Hal ini memerlukan adanya verifikasi yang dilakukan terutama oleh pihak eksternal yang bersifat independen.
Hal tersebut akan memberikan pemahaman yang lebih pasti dan jelas bagi semua stakeholders mengenai apa yang terjadi dan apa yang diinginkan oleh pihak-pihak terkait dengan penerapan CSR. Hal ini menjadi alasan lahirnya sebuah konsep verifikasi yang baru baik oleh pihak eksternal maupun internal sebuah oragnisasi yang dikenal dengan audit sosial (social auditing). Konsep ini penting untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kinerja organisasi dari segi pertumbuhan ekonomi, perlindungan terhadap lingkungan dan keadilan sosial yang merupakan penekanan dari sustainability development.
Audit sosial bukan merupakan konsep yang baru lagi bagi negara-negara lain. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para akademisi dari negara tersebut sudah sampai pada usaha untuk memformulasikan sebuah standar audit sosial karena penerapan jenis audit ini tidak memiliki standar sebagaimana audit laporan keuangan. Namun, hal ini berbeda dengan kondisi di Indonesia yang belum menerapkan audit sosial apalagi mengharapkan adanya standar audit sosial sehingga perlu penelitian terlebih dahulu mengenai pentingnya implementasi audit sosial ini.

Selengkapnya...

Paruh kedua Abad XX mencatat korporasi komersial berkembang melintasi batas-batas negara dengan pengaruh (kekuasaan) yang melampaui kekuasaan negara-negara. Kapitalisme telah menjadi motivator ulung bagi korporasi modern saat ini yang semakin menurunkan kualitas hidup manusia dan alam secara keseluruhan. Perilaku korporasi saat ini terpengaruh oleh filsuf ateis Nitszche dengan slogannya ‘God is dead’ yang menjadi semangat zaman modern sehingga salah satu sumber moral pun terabaikan. Maksimalisasi profit pun menjadi Tuhan sehingga perilaku industri-industri dan bisnis-bisnis lain seringkali mengabaikan dampak yang ditimbulkan bagi umat manusia dan alam ini.
Akhirnya, rentetan bencana alam yang terjadi di dunia ini termasuk di Indonesia memunculkan persepsi dari banyak kalangan bahwa sektor bisnis dan industri berperan langsung atau tidak langsung terhadap terjadinya permasalahan lingkungan dunia dan nasional ini. Persepsi semacam ini berkembang di masyarakat luas dan politisi terutama di Eropa dan Amerika yang menganggap sektor bisnis dan industri tidak mempunyai sistem dan manajemen yang layak dalam mengelola sumberdaya alam, melakukan operasi perusahaan dan mengelola limbahnya.
Akuntansi dalam dunia bisnis terlalu berpihak pada stockholders daripada stakeholders, sehingga konsep akuntansi sekarang tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan situasi dan kehidupan yang aman berkeadilan, serta alam yang lestari dan terpelihara. Karena hal itu kemudian berkembang akuntansi lingkungan (environmental accounting). Akuntansi lingkungan dipertimbangkan karena menjadi perhatian bagi pemegang saham dengan cara mengurangi biaya yang berhubungan dengan lingkungan (contohnya : polusi) dan diharapkan dengan pengurangan biaya lingkungan akan tercipta kualitas lingkungan yang baik. Yang juga menjadi pendorong munculnya akuntansi lingkungan ialah kecenderungan terhadap kesadaran lingkungan. Dalam literatur, paradigma ini dikenal dengan the human exeptionalism paradigm menuju the environment paradigm atau juga terkait dengan kemunculan konsep triple bottom line.
Paradigma yang pertama mengungkapkan bahwa manusia merupakan makhluk yang unik di bumi ini yang memiliki kebudayaan dan sadar tidak dibatasi oleh kepentingan makhluk lain. Sebaliknya, paradigma yang kedua menganggap bahwa manusia adalah makhluk diantara bermacam-macam makhluk yang mendiami bumi yang saling memiliki keterkaitan sebab akibat dan dibatasi oleh sifat keterbatasan itu sendiri, baik ekonomi, social maupun politik. Paradigma yang terakhir inilah yang menjadi pedoman akuntansi lingkungan.
Konsep Akuntansi Lingkungan
Menurut Ikhsan (2008) Akuntasi lingkungan Environmental Accounting atau EA adalah istilah yang berkaitan dengan dimasukkannya biaya lingkungan (environmental costs) ke dalam praktek akuntasi perusahaan atau lembaga pemerintah. Biaya lingkungan adalah dampak (impact) baik moneter maupun non-moneter yang harus dipikul sebagai akibat dari kegiatan yang mempengaruhi kualitas lingkungan.
Akuntansi lingkungan mengidentifikasi, menilai dan mengukur aspek penting dari kegiatan sosial ekonomi perusahaan dalam rangka memelihara kualitas lingkungan hidup sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Sehingga perusahaan tidak bisa seenaknya untuk mengolah sumber daya tanpa memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat. Pemahaman sifat dan relevansi akuntansi lingkungan sangat beragam tergantung perspektif para profesional dan orientasi fungsional para praktisi.
Aspek-aspek yang menjadi bidang garap akuntansi lingkungan adalah sebagai berikut:
1. Pengakuan dan identifikasi pengaruh negatif aktifitas bisnis perusahaan terhadap lingkungan dalam praktek akuntansi konvensional.
2. Identifikasi, mencari dan memeriksa persoalan bidang garap akuntansi konvensional yang bertentangan dengan kriteria lingkungan serta memberikan alternatif solusinya.
3. Melaksanakan langkah-langkah proaktif dalam menyusun inisiatif untuk memperbaiki lingkungan pada praktik akuntansi konvensional.
4. Pengembangan format baru sistem akuntansi keuangan dan nonkeuangan, sistem pengendalian pendukung keputusan manajemen ramah lingkungan.
5. Identifikasi biaya-biaya (cost) dan manfaat berupa pendapatan (revenue) apabila perusahaan lebih peduli terhadap lingkungan dari berbagai program perbaikan lingkungan.
6. Pengembangan format kerja, penilaian dan pelaporan internal maupun eksternal perusahaan.
7. Upaya perusahaan yang berkesinambungan, akuntansi kewajiban, resiko, investasi biaya terhadap energi, limbah dan perlindungan lingkungan.
8. Pengembangan teknik-teknik akuntansi pada aktiva, kewajiban dan biaya dalam konteks non keuangan khususnya ekologi.
Dampak Isu Lingkungan terhadap Akuntansi Manajemen
Akuntansi lingkungan dapat diterapkan oleh perusahaan kecil maupun besar, manufaktur atau jasa dengan alasan Akuntansi lingkungan memerlukan cara baru dalam memandang biaya lingkungan perusahaan, kinerja dan keputusan perusahaan. Selain itu, akuntansi lingkungan bukan semata-mata permasalahan akuntansi, dan informasi diperlukan oleh semua kelompok entitas.
Akuntansi lingkungan dapat diterapkan dalam capital budgeting oleh perusahaan. Capital budgeting merupakan proses perencanaan investasi modal dan merupakan perbandingan antara biaya yang diprediksi dengan aliran penerimaan dari operasi serta investasi alternatif yang dapat dilakukan. Analisis keuangan atas alternatif investasi tersebut tidak memasukkan biaya lingkungan dan cost saving sehingga tidak mempertimbangkan kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari proses produksi.
Evaluasi terhadap investasi modal sangat berguna jika mempertimbangkan biaya lingkungan dan cost savings, dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi dan mengkuantitatifkan biaya lingkungan,
2. Mengalokasikan biaya lingkungan dan keuntungan yang diperoleh dan hal ini sangat tepat dengan menggunakan activity based costing (ABC),
3. Menggunakan indikator keuangan seperti time value of money,
4. Memprediksi keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan melihat cash flow dan profitabilitas perusahaan seperti economic life of the capital investment.
Akuntansi lingkungan dapat digunakan pada desain produk dan proses produksi oleh perusahaan. Desain produk dan proses produksi memiliki pengaruh signifikan pada kinerja dan biaya lingkungan. Proses desain memerlukan balancing cost, performance cultural, legal dan environment criteria. Perusahaan yang mengadopsi desain lingkungan (life cycle design) akan mempertimbangkan evaluasi alternatif desain ke dalam biaya lingkungan, kinerja, budaya dan peraturan yang ada. Pengungkapan informasi biaya lingkungan dan kinerja yang dibutuhkan designer mendukung desain dan pemrosesan produk yang lebih baik. Selain itu, pada setiap tahapan siklus hidup terjadi emisi dan konsumsi sumberdaya. Dampak lingkungan dari keseluruhan siklus hidup produk dan jasa perlu diketahui. Untuk melakukan ini, pemikiran siklus hidup semakin diperlukan. Life Cycle Assessment (LCA) menyediakan adalah alat (tool) bagi evaluasi sistematis aspek lingkungan dari produk dan sistem jasa diseluruh tahapan siklus hidup. LCA menyediakan instrument yang cukup untuk mendukung keputusan lingkungan.
Environmental Management Accounting (EMA)
EMA merupakan salah satu bidang disiplin ilmu akuntansi yang aktivitasnya bertujuan memberikan informasi pada manajemen atas pengelolaan lingkungan dan dampaknya terhadap biaya produksi. EMA diharapkan akan menjadi salah satu rangkaian sistem yang bertujuan untuk mengukur kinerja suatu perusahaan. Sehingga tercapai model pengukuran kinerja yang seimbang antara ukuran financial profit dengan kinerja pengelolaan lingkungan.
EMA dirumuskan berdasarkan dua pendekatan yaitu pertama prosedur aliran fisik atas konsumsi dan pembuangan material dan energi (material flow balance procedure), kedua prosedur pengukuran nilai atas biaya, penghematan dan pendapatan (monetary procedure) yang berhubungan dengan kemungkinan dampak lingkungan. Kedua pendekatan tersebut sebagai dasar dalam mengidentifikasi, mengukur dan mengalokasikan biaya lingkungan. Bagi manajer hal ini penting sebab selain dapat dihasilkan harga pokok produksi yang tepat atas lokasi biaya lingkungan, juga sebagai dasar pengendalian biaya lingkungan dimasa yang akan datang. Sehingga dapat dihasilkan produk yang ramah lingkungan.
EMA dapat mendukung system pengelolaan lingkungan dan pengambilan keputusan dengan tujuan perbaikan target dan pemilihan investasi. Kinerja keuangan dan kinerja lingkungan merupakan indikator penting untuk mengendalikan dan menjadi pedoman dalam pencapaian tujuan.
Konsep prosedur aliran fisik material memberikan informasi penting dalam mengukur kinerja manajemen lingkungan. Sedangkan prosedur pengukuran nilai memberi dasar dalam mengidentifikasi biaya dan dasar alokasi sehingga dapat diukur biaya, penghematan dan pendapatan atas pengelolaan pengelolaan lingkungan.
Berbagai biaya telah dikeluarkan oleh perusahaan dalam melindungi dan memperbaiki kerusakan lingkungan. Biaya tersebut antara lain biaya pengurangan pencemaran, pengelolaan limbah, pengendalian limbah, biaya mentaati peraturan dan biaya asuransi.
Sistem akuntansi biaya konvensional memperlakukan biaya lingkungan dan biaya bukan lingkungan ke dalam rekening yang sama yaitu overhead. Perlakuan ini menghasilkan biaya tersembunyi atas biaya lingkungan untuk manajemen. Hal ini membuktikan bahwa manajemen cenderung underestimate mengembangkan dan meningkatkan kepedulian terhadap biaya lingkungan. Dengan sistem identifikasi, penilaian, dan alokasi biaya lingkungan, EMA memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi dan mengukur penghematan biaya yang dapat dilakukan oleh perusahaan. Sehingga manajemen mempunyai informasi untuk mengontrol dan mengendalikan biaya lingkungan demi tercapainya produk yang efisien dan murah.
Terdapat dua pendekatan dalam merumuskan EMA, yaitu :
1. Monetary Accounting (berbasis pada monetary procedure) merupakan upaya mengidentifikasi, mengukur dan mengalokasikan biaya lingkungan berdasarkan perilaku aliran keuangan dalam biaya tersebut.
2. Physical Accounting (berbasis pada material flow balance procedure) adalah suatu pendekatan untuk mengidentifikasi berbagai perilaku sumber biaya lingkungan. Hal ini akan berguna bagi manajemen untuk dasar alokasi biaya lingkungan yang terjadi.
Dengan pendekatan gabungan ini dapat dihasilkan alokasi biaya produksi yang tepat sehingga benar-benar mencerminkan harga pokok yang akurat setiap produk. Selain itu manajemen dapat melakukan pengendalian terhadap aktivitas produksi yang mengakibatkan munculnya berbagai biaya lingkungan.
EMA merupakan konsep komprehensif untuk mengidentifikasi sumber biaya dan mengukur biaya lingkungan. Menurutnya limbah menjadi mahal bukan karena biaya pembuangannya, tetapi karena terbuangnya nilai beli bahan. Sehingga limbah merupakan pertanda inefisiensi produksi. Namun EMA mempunyai kelemahan, yaitu kurang bakunya definisi atas biaya lingkungan dan tarikan kepentingan dari pihak manajemen dalam melaporkan biaya lingkungan.
Penutup
Empat topik akuntansi manajemen utama berhubungan dengan konteks lingkungan, yaitu: product costing dan alokasi biaya overhead (activity based cocting), capital budgeting, akuntansi pertanggungjawaban (responsibility accounting), analisis siklus hidup (life cicle analysis). Isu lingkungan dapat digunakan sebagai kerangka pemikiran dalam proses pengambilan keputusan dan fungsi perencanaan dan pengendalian manajemen. Dampak kepedulian lingkungan dapat diteliti dalam bidang akuntansi pertanggungjawwaban, metode penentuan harga pokok dan alokasi overhead, analisi selisih, perilaku biaya dan analisis capital budgeting.

Selengkapnya...

Gayus Bernyanyi