Saat ini, banyak orang yang memandang akuntansi sebagai sesuatu kegiatan mekanis yang tidak menarik yang mencatat dan melaporkan ‘fakta’ yang sebenarnya mudah untuk dicatat dan dilaporkan, intinya sebagai kegiatan klerikal. Akuntansi dipandang sebagai sesuatu kegiatan yang asocial dan apolitical. Persepsi ini dibentuk dan didorong oleh penggambaran akuntansi dan akuntan dalam literature, film dan media.
Akuntansi berkembang untuk menduduki posisi signifikan dalam fungsi masyarakat industri modern. Berkembang dari prkatek manajemen perkebunan, pedagang dan cikal bakal korporasi, akuntansi dikembangkan menjadi komponen yang sangat berpengaruh dalam organisasi modern dan manajemen sosial. Di dalam organisasi, sektor privat maupun publik, perkembangan akuntansi semakin luas dan tidak hanya berhubungan dengan manajemen keuangan tapi juga berpengaruh terhadap pembentukan pola organisasi, artikulasi struktur manajemen dan penciptaan kekuasaan dan pengaruh. Dalam tingkatan sosial yang lebih luas, akuntansi juga memiliki pengaruh yang sangat besar. Perhitungan nilai ekonomi yang disediakan oleh sistem akuntansi di level perusahaan menjadi dasar tidak hanya untuk kepentingan perpajakan tapi juga pemanfaatannya dalam mengelola kebijakan perekonomian suatu Negara. Data akuntansi digunakan dalam penerapan kebijakan untuk stabilisasi perkenomian, harga, dan control gaji, regulasi industri tertentu dan sektor komersial dan perencanan sumber daya ekonomi nasional dalam kondisi perang, damai, kemisikinan dan depresi.
Informasi akuntansi dalam masyarakat mempengaruhi setiap manusia. Hal ini bisa dipahami dengan memperhatikan pemanfaatan informasi akuntansi dalam penentaun harga pokok barang yang dikonsumsi oleh masyarkat. Sebagai contoh, harga pokok produksi bahan bakar yang ditentukan dengan menggunakan informasi akuntansi akan mempengaruhi harga-harga sembako yang akan mengubah perilaku masyarakat. Akuntansi dapat memiliki peran yang sangat besar dalam masyarakat selain yang dipahami secara tradisional. Akuntansi dapat berkontribusi dalam masalah kongesti dan penyakit urban, pengendalian kriminal, dan destruksi lingkungan.
Permasalah urban sudah begitu lama dan belum bisa di atasi dengan baik. Tak ada satu pun profesi yang memonopoli kebutuhan untuk penyelesaian masalah ini. Berbagai disiplin dibutuhkan keterlibatannya dalam penyelesaian masalah ini termasuk akuntansi. Teknik akuntansi yang dapat berkontribusi dalam pengembangan kehidupan urban sama dengan yang dibawa dari permasalah di lingkungan bisnis; pengukuran, pengumpulan data, analisis, dan komunikasi. Usaha untuk pengembangan kondisi urban membutuhkan pengukuran kondisi untuk menentukan alokasi sumber daya, analisis untuk mengatasi masalah, evaluasi atas hasil pengukuran, komunikasi/pelaporan untuk mengevaluasi pengalokasian sumber daya, dan mengurangi program yang tidak produktif. Beberapa dari kantor-kantor akuntan pernah mengambil peran dalam hal ini termasuk ‘The Big Four’. Ernst and Ernst dan juga Arthur Young yang sekarang sudah bergabung menjadi Ernst & Young Co danPeat, Marwick, Mitchell & co (cikal bakal KPMG) pernah terlibat dalam usaha pengembangan kehidupan urban.
Daftar Pustaka
Burchell, Stuart dan Colin Clubb, dkk. 1980. The Roles of Accounting in Organizations and Society., vol. 5 , no. 1, pp. 5-27
Estes, Ralph W. 1973. Accounting and Society. Canada: Jhon Wiley & Son, Inc
Gallhofer, Sonja dan Jim Haslam. 2003. Accounting and Emancipation: Some critical interventions. Routledge
Selengkapnya...
|
Proyek besar Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sekarang adalah menyambut kedatangan ‘tamu spesial’ yang akan mendiami otak hingga mengakar dalam alam bawah sadar sebagian besar akuntan dan masyarakat Indonesia. Prof. Iwan Triyuwono menyebut tamu spesial ini sebagai ‘makhluk baru’. Tamu spesial ini merupakan spesies baru dari makhluk kapitalis yang dipercayai memiliki fitur-fitur yang lebih canggih dari spesies lainnya. International Financial Reporting Standard (IFRS) berusaha didogmakan memberikan informasi yang lebih relevan dan reliastis dibanding GAAP. IFRS yang mencoba mengatasi kemandegkan akuntansi dalam memberikan informasi yang realistis mengenai informasi keuangan suatu entitas perlu dipandang sebagai khazanah baru dalam ilmu akuntansi.
Namun sebagai sebuah ilmu, dengan menggunakan paradigma kritis, IFRS tidak terlepas dari nilai-nilai tertentu yang inheren di dalamnya. Akuntansi bukanlah proses tekhnikal dan amoral semata. Pandangan dunia yang digunakan oleh IASB dalam merumuskan IFRS masih terjajah oleh pandangan duniawi kapitalistik. Arah mata pembaca dari sebuah Laporan Posisi Keuangan (Neraca) masih diarahkan kepada pojok kanan bawah (ekuitas). Meskipun fair value hadir terutama untuk memperbaiki informasi pada pojok kiri (asset), namun hal itu bertujuan untuk memberikan informasi yang lebih relevan terhadap nilai ekuitas . Fair value yang menjadi ‘jualan utama’ IFRS pun ternyata masih merupakan pilihan dalam IFRS untuk diterapkan dan bukan suatu kemutlakan.
Seperti GAAP US, IFRS juga lahir dan tumbuh dalam paradigma yang disebut oleh Fritjof Capra sebagai paradigma Cartesian. Segala sesuatu harus dikuantitatifkan, ukuran keberhasilan perusahaan harus dinilai dengan angka. Sepertinya akuntansi pun dianggap sebagaimana mesin arloji dimana ketidakstabilan dikarenakan oleh adanya bagian tertentu yang yang rusak dalam mesin itu sehingga hanya perlu memperbaiki bagian itu. Kritikan utama terhadap sistem akuntansi yang mendominasi sebelumnya mengarah pada historical cost sehingga hal itu diperbaiki dengan menonjolkan fair value dan menganggap bahwa masalah sudah terselesaikan. Tentulah Saya tidak melihat IFRS sebagai fair value saja tapi IFRS-lah yang melihat dirinya seperti itu dengan menyerang GAAP tidak mampu memberikan gambaran real dari kondisi keuangan perusahaan. Seharusnya IFRS juga melihat dirinya tidak menggmbarkan realistas yang sebenarnya dari perusahaan bahkan tidak mampu menjelaskan mengapa nilai perusahaan atau total asset tidak sama dengan nilai saham perusahaan yang mewakili penilaian publik terhadap perusahaan kecuali dengan jembatan goodwill.
Keberhasilan pandangan kapitalistik dalam merekonstruksi kelemahan sistem sebelumnya tentulah semakian memukau masyarakat. Sejalan dengan teori evolusi Darwin, IFRS hadir sebagai jawaban dalam menghadapi tantangan kritikus dan perkembagan lingkungan bisnis dan tidaklah memerlukan usaha yang begitu besar untuk mendikte para akuntan dan masyarakat umum untuk menyembahnya. IASB cukup menggunakan jubah IFAC dan mengancam untuk mengeluarkan keanggotan dari IFAC bagi yang tidak berniat menerapkan IFRS. Selain itu, juga dengan mencekoki negara-negara yang termasuk dalam G20 dan juga menggadeng bursa-bursa saham. IFRS pun menjelma menjadi agen kapitalisme dan neo-liberalisme dalam melanggengkan kekuasaannya dengan berusaha untuk menyeragamkan standar akuntansi yang berlaku.
Hal tersebut tentu merupakan serangan bagi perkembangan pandangan dunia yang tidak mempertuhankan kapital. Sistem-sistem akuntansi yang lahir dari pemikiran dan landasan filosofis berbeda tentu saja merasakan sebuah serangan baru layaknya teroris menyerang targetnya. Sistem akuntansi yang berlandaskan Islam yang sedang berkembang bersamaan dengan kemunculan isu-isu sosial dan lingkungan dalam dunia bisnis termasuk akuntansi sepertinya ditimpuki oleh IFRS sebagaimana dalam permaianan ‘pukul kepala anjing’.
Sistem akuntansi yang berlandaskan Islam diserang mulai dari ketidakmampuan konsep ini mewadahi kepentingan relevansi informasi hingga kepentingan kepentingan verifikasi informasi yang dihasilkan. Kaitan akuntansi dengan isu-isu sosial yang mendorong perkembangan akuntansi sosial pun diserang hampir dengan pola yang sama termasuk perdebatan mengenai definisi tanggung jawab sosial yang tak kunjung selesai. Serangan lain yang muncul dari IFRS adalah adanya pola akuntansi direduksi menjadi hanya ada dalam perusahaan-perusahaan besar. Akuntansi yang memiliki muatan lokal tentu semakin terkebiri oleh hadirnya IFRS. Sepertinya petani semakin tidak akan pernah memikirkan untuk menggunakan akuntansi dalam kehidupannya.
Serangan IFRS ala teroris ini tidak hanya mengarah pada lembaga akuntansi dan standar akuntansi, namun juga mengarah pada individu masyarakat. IFRS sebagai agen kapitalisme membibing akuntan dan masyarakat melihat kinerja suatu entitas dalam ukuran uang yang akan menular pada pengukuran kinerja individu. Perilaku baik, shaleh, ramah, suka menolong bertenggang rasa dan perilaku lainya yang sering diajarkan dari pendidikan dasar tidak akan menjadi dasar penilaian.
Pemerintah dan sebagian besar akuntan begitupula masyarakat bisnis dengan sorak-sorai mengucapkan:
Selamat Datang Penjajah!!!
Selamat Datang Teroris!!!
Selengkapnya...
|
When someone sitting next to me on a plane asks me what I do, I usually tell him or her I’m a salesman. Then they ask, “What do you sell?” and I tell them, “Accounting Services”. This is how one American CPA described his work (Fraser dalam Ken McPhail dan Diane Walters). Di bagian lain, akuntan mempresentasikan diri mereka sebagai kaum professional. Status dan pengaruh terhadap berbagai institusi akuntansi beserta manfaat ekonomis pun diperoleh oleh para akuntan dengan klaim bahwa akuntansi merupakan profesi dan akuntan itu professional.
Sebagai sebuah profesi, akuntan memiliki karakteristik unik dibanding dengan profesi lainnya dengan sangat menonjolkan semangat profesionalisme. Keunikan tersebut berangkat dari sebuah kondisi dimana profesi lain merupakan client-oriented, namun akuntan punya prima rensponsibility yang diamanatkan oleh publik daripada sekedar kepentingan klien atau perusahaan. Akuntansi merupakan avant garde dalam mengemban amanat transparansi dan akuntabilitas dalam ranah good governance yang menjadi salah satu pilar utama dalam aliran modernisme dan developmentalisme.
Akuntan memiliki bagian tanggung jawab dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan cita-cita dari para founding father bangsa Indonesia yang tertuang dalam sila kelima Pancasila. Tanggung jawab ini tercakup dalam semua aspek profesi akuntan, baik sebagai akuntan publik, akuntan pemerintah termasuk akuntan pajak, akuntan pendidik, maupun akuntan manajemen termasuk konsultan.
Akuntan bertanggung jawab dalam menyajikan data-data yang akan mempengaruhi keputusan manajemen. Meskipun hanya diberikan peran sebagai penyaji data, akuntan dapat memilih data yang akan disediakan dengan mempertimbangkan pengaruh data tersebut dalam keputusan yang akan memberikan manfaat bagi masyarakat luas dan bukan hanya kepada pemilik modal. Sebagai kaum profesional, akuntan seyogyanya menyajikan data yang sesuai dengan tanggung jawab utamanya sebagai pelayan publik dan bukan menyajikan data yang akan membuatnya tampak berpihak pada pimpinan atau klien untuk mendapat imbalan berupa kenaikan gaji dan pangkat atau keberlanjutan dalam hubungan pemberian jasa terhadap klien tersebut.
Sebuah pertarungan yang sangat nyata antara yin dan yang hadir dalam sanubari seorang akuntan setiap kali dihadapkan pada sebuah kondisi yang mengharuskannya untuk menggunakan judgment profesionalnya. Vis a vis antara tuntutan sebuah profesi sebagai sebuah lahan subur untuk isi perut dan semangat professional yang menjunjung tinggi semangat altruis seringkali menghadirkan dilema bagi akuntan. Altruis merupakan yin dan yang-nya adalah egois. Sikap altruis pada titik ekstrim bahkan akan menghilangkan keinginan diri untuk memenuhi kebutuhan diri itu sendiri demi kebutuhan orang lain atau merelakan nyawanya demi orang lain.
Konsep cost-benefit memasung semangat profesionalisme akuntan dalam menjalankan tugasnya. Makna ‘benefit’ yang diperoleh akuntan terkontaminasi dengan aliran materialis yang inheren dalam konsep akuntansi itu sendiri. Sehingga jasa yang diberikan hanya dinilai dengan manfaat ekonomis yang diperoleh dan semangat profesionalisme pun tewas dalam medan pertempuran. Sungguh ironis nasib transparansi dan akuntabilitas yang disandarkan pada pundak akuntan ternyata relatif.
Peran akuntan publik sangat strategis, mengingat sekurangnya terdapat sekitar 22 undang-undang yang menyebutkan kebutuhan audit laporan keuangan oleh akuntan publik, di antaranya yaitu UU Pasar Modal, UU Perseroan Terbatas, UU Perbankan, UU BPK, UU Keuangan Negara, UU Yayasan, UU Koperasi, UU Pemilu/Pilkada, dan lainnya. Tanggung jawab yang begitu besar dipundak akuntan membuat profesi ini sepertinya rentan sekali terkena penyakit akibat tekanan psikologis yang semakin kuat. Kehadiran RUU akuntan publik salah satunya, bahkan mengancam akan memenjarakan akuntan ketika memberikan informasi yang salah meskipun itu berlandasakan judgment akuntan publik. Tapi bukankah itu sebuah nyanyian supporter bola dari tribun penonton kepada tim kebanggannya agar menyajikan permainan yang berkualitas sehingga menjadi scudetto?
Saat ini, profesi akuntan tertinggal beberapa poin dari pimpinan klasemen yaitu ahli hukum dalam pemberantasan korupsi. Jajaran kepengurusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), umumnya didominasi oleh orang-orang non-akuntan yang memiliki latar belakang kemampuan dalam menyingkap realitas korupsi. Ketika perilaku korup mewabah di negeri ini, profesi akuntan tentu memiliki andil besar di dalamnya. Bagaimana tidak, akuntan ibarat koki yang meramu dan mengaudit laporan keuangan pemerintah atau perusahaan swasta. Akuntan menyusun laporan keuangan yang korup dan akuntan juga mengaudit laporan keuangan yang korup. Bukankah ini sebuah ironi bagi profesi kebanggan ini?
Profesi akuntan seyogyanya berintrospeksi diri dan mencoba mempelajari kelemahan dalam proses mengungkap sebuah realitas korupsi yang seharusnya menjadi tanggung jawab besarnya. Menurut Wartono, Pengajar Universitas Sebelas Maret dan Managing Partner Kantor Akuntan Publik Wartono, dalam sebuah tulisannya, kendala utama akuntan dalam mengungkap realitas korupsi seringkali terbentur pada konsep veriability akuntan. Konsep ini mengarahkan akuntan berpegang teguh pada prinsip form over substance dan bukannya substance over form.
Konsep veriabilitas tersebut menegaskan bahwa transaksi atau kejadian (realitas) harus dicerminkan dalam bentuk dokumen atau bukti transaksi yang dapat ditelusuri. Kejadian atau transaksi dianggap fiktif jika tidak dapat dicerminkan atau didukung dengan bukti formal. Dengan kata lain realitas yang sebenarnya terjadi dianggap tidak ada jika tidak didukung dengan dokumen atau bukti formal. Inilah yang disebut realitas formal/formulir. Ini berarti bahwa form lebih ditonjolkan dari pada substansinya. Meskipun terdapat fakta yang benar-benar ada atau terjadi, misalnya terdapatnya penggelapan atau pengambilan uang secara tidak legal benar-benar terjadi, namun jika tidak ada dokumen atau bukti formal yang mendukung (misalnya berupa kwitansi pengeluaran yang membuktikan adanya penggelapan), maka pandangan ini memperlakukan bahwa penggelapan dianggap tidak ada, karena realitas dinilai dari formnya. Konsep veriabilitas ini menegaskan bahwa auditor tidak akan berhasil mengungkap realitas yang sebenarnya manakala realitas yang terjadi tidak ditemukan atau disertai dengan dokumen formal. Tentu saja realitas yang diungkap hanyalah realitas formal saja dan bukan realitas substansial. Namun, meskipun hal ini diperbaiki tetap saja yang menentukan adalah apakah proses ini cost-nya tidak melebihi benefit yang diperoleh.
Korupsi merupakan salah satu masalah utama dan menggagalkan terciptanya keadilan sosial pada bangsa ini. Korupsi inipun telah merasuk hingga sendi-sendi kehidupan bangsa sehingga membutuhkan partisipasi seluruh komponen bangsa terutama proses pendidikan. Pendidikan akuntansi saat ini hanya berkutat pada definisi, prosedur, metode bukannya pada kajian kritis, kreatifitas, dan mentalitas. Pola ini merupakan jiplakan pola yang diterapkan di barat. Pendidikan di Indonesia seyogyanya tidak ikut dalam arus pusaran pendidikan yang persis sama dengan pendidikan di barat. Pendidikan akuntansi di Indonesia adalah sistem dan konsep dasar pendidikan akuntansi yang seyogyanya merupakan citra realitas ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia itu sendiri. Sistem pendidikan akuntansi seyogyanya dikembangkan sesuai dengan UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003 yang dirumuskan dengan mendasarkan pada Pancasila.
Proses pendidikan akuntansi diharapkan dapat memperbaiki pandangan dunia seorang akuntan. Menurut Aji, Reiter dan Williams menganggap bahwa akuntan terutama akuntan publik dengan independensinya saat ini telah berubah dari karakter aslinya dari “judicial man” menjadi “economic man”. Reiter bahkan melihat karakter interdependensi yang muncul dalam kecenderungan akuntansi saat ini adalah mengarahkan perubahan independensi disesuaikan dengan tren yang berkembang saat ini, yaitu kepuasan pelanggan dan bersifat kooperatif (seperti Total Quality Management, Value Chains dan Learning Organizations). Hal ini jelas bertentangan dengan karakter profesi yang seyogyanya mementingkan kepentingan publik. Tentu saja hal ini akan menghalangi akuntan untuk berperan lebih besar dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Profesi akuntan yang mengembang amanat Pancasila ini memiliki ruang yang sangat besar dalam mewujudkan sila kelima pancasila. Akuntan berperan mengarahkan keberpihakan institusi yang tidak hanya terfokus pada pemilik modal atau pimpinan namun juga pada publik sehingga proses bisnisnya lebih transparan dan accountable bagi masyarakat umum. Hal ini tentu saja akan menghindarkan institusi dari perilaku yang tidak bertanggung jawab atau institusi terkait pemerintahan untuk berperilaku korup. Peran tersebut dapat dilakoni lewat internal maupun eksternal institusi. Tentu saja hal itu harus dibina atau dikader lebih awal lewat sebuah jenjang pendidikan formal maupun informal yang seyogyanya akan menghasilkan mental-mental altruis termasuk anti-korupsi untuk mempersiapkan sebuah keidupan yang berkeadilan sosial. Sungguh sebuah peran yang sangat mulia ketika penghayatan seorang akuntan bahkan profesi akuntan sendiri telah sampai pada titik itu. Transparansi dan akuntanbilitas tidak lagi direlatifkan oleh hijaunya mata memandang keindahan gaji, jabatan atau fee bagi akuntan.
Daftar Referensi
McPhail, Ken dan Diane Walters. 2009. Accounting and Business Ethics An introduction. New York: Routledge
Mulawarman, Aji Dedi. 2008. Rekonstruksi Independensi Akuntan Publik: Pandangan Islam. (Online), (http://ajidedim.wordpress.com/2008/03/21/rekonstruksi-independensi-akuntan-publik-pandangan-islam, diakses 19 Oktober 2010)
Wartono. 2006. Menuju Pengauditan Holistik dengan Pendekatan Yin Dan Yang: Upaya Meningkatkan Relevansi. Jurnal Akuntansi, Auditing, Dan Sistem Informasi (TEMA) Vol 7 No 1 Maret 2006
Selengkapnya...
|