When someone sitting next to me on a plane asks me what I do, I usually tell him or her I’m a salesman. Then they ask, “What do you sell?” and I tell them, “Accounting Services”. This is how one American CPA described his work (Fraser dalam Ken McPhail dan Diane Walters). Di bagian lain, akuntan mempresentasikan diri mereka sebagai kaum professional. Status dan pengaruh terhadap berbagai institusi akuntansi beserta manfaat ekonomis pun diperoleh oleh para akuntan dengan klaim bahwa akuntansi merupakan profesi dan akuntan itu professional.
Sebagai sebuah profesi, akuntan memiliki karakteristik unik dibanding dengan profesi lainnya dengan sangat menonjolkan semangat profesionalisme. Keunikan tersebut berangkat dari sebuah kondisi dimana profesi lain merupakan client-oriented, namun akuntan punya prima rensponsibility yang diamanatkan oleh publik daripada sekedar kepentingan klien atau perusahaan. Akuntansi merupakan avant garde dalam mengemban amanat transparansi dan akuntabilitas dalam ranah good governance yang menjadi salah satu pilar utama dalam aliran modernisme dan developmentalisme.
Akuntan memiliki bagian tanggung jawab dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan cita-cita dari para founding father bangsa Indonesia yang tertuang dalam sila kelima Pancasila. Tanggung jawab ini tercakup dalam semua aspek profesi akuntan, baik sebagai akuntan publik, akuntan pemerintah termasuk akuntan pajak, akuntan pendidik, maupun akuntan manajemen termasuk konsultan.
Akuntan bertanggung jawab dalam menyajikan data-data yang akan mempengaruhi keputusan manajemen. Meskipun hanya diberikan peran sebagai penyaji data, akuntan dapat memilih data yang akan disediakan dengan mempertimbangkan pengaruh data tersebut dalam keputusan yang akan memberikan manfaat bagi masyarakat luas dan bukan hanya kepada pemilik modal. Sebagai kaum profesional, akuntan seyogyanya menyajikan data yang sesuai dengan tanggung jawab utamanya sebagai pelayan publik dan bukan menyajikan data yang akan membuatnya tampak berpihak pada pimpinan atau klien untuk mendapat imbalan berupa kenaikan gaji dan pangkat atau keberlanjutan dalam hubungan pemberian jasa terhadap klien tersebut.
Sebuah pertarungan yang sangat nyata antara yin dan yang hadir dalam sanubari seorang akuntan setiap kali dihadapkan pada sebuah kondisi yang mengharuskannya untuk menggunakan judgment profesionalnya. Vis a vis antara tuntutan sebuah profesi sebagai sebuah lahan subur untuk isi perut dan semangat professional yang menjunjung tinggi semangat altruis seringkali menghadirkan dilema bagi akuntan. Altruis merupakan yin dan yang-nya adalah egois. Sikap altruis pada titik ekstrim bahkan akan menghilangkan keinginan diri untuk memenuhi kebutuhan diri itu sendiri demi kebutuhan orang lain atau merelakan nyawanya demi orang lain.
Konsep cost-benefit memasung semangat profesionalisme akuntan dalam menjalankan tugasnya. Makna ‘benefit’ yang diperoleh akuntan terkontaminasi dengan aliran materialis yang inheren dalam konsep akuntansi itu sendiri. Sehingga jasa yang diberikan hanya dinilai dengan manfaat ekonomis yang diperoleh dan semangat profesionalisme pun tewas dalam medan pertempuran. Sungguh ironis nasib transparansi dan akuntabilitas yang disandarkan pada pundak akuntan ternyata relatif.
Peran akuntan publik sangat strategis, mengingat sekurangnya terdapat sekitar 22 undang-undang yang menyebutkan kebutuhan audit laporan keuangan oleh akuntan publik, di antaranya yaitu UU Pasar Modal, UU Perseroan Terbatas, UU Perbankan, UU BPK, UU Keuangan Negara, UU Yayasan, UU Koperasi, UU Pemilu/Pilkada, dan lainnya. Tanggung jawab yang begitu besar dipundak akuntan membuat profesi ini sepertinya rentan sekali terkena penyakit akibat tekanan psikologis yang semakin kuat. Kehadiran RUU akuntan publik salah satunya, bahkan mengancam akan memenjarakan akuntan ketika memberikan informasi yang salah meskipun itu berlandasakan judgment akuntan publik. Tapi bukankah itu sebuah nyanyian supporter bola dari tribun penonton kepada tim kebanggannya agar menyajikan permainan yang berkualitas sehingga menjadi scudetto?
Saat ini, profesi akuntan tertinggal beberapa poin dari pimpinan klasemen yaitu ahli hukum dalam pemberantasan korupsi. Jajaran kepengurusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), umumnya didominasi oleh orang-orang non-akuntan yang memiliki latar belakang kemampuan dalam menyingkap realitas korupsi. Ketika perilaku korup mewabah di negeri ini, profesi akuntan tentu memiliki andil besar di dalamnya. Bagaimana tidak, akuntan ibarat koki yang meramu dan mengaudit laporan keuangan pemerintah atau perusahaan swasta. Akuntan menyusun laporan keuangan yang korup dan akuntan juga mengaudit laporan keuangan yang korup. Bukankah ini sebuah ironi bagi profesi kebanggan ini?
Profesi akuntan seyogyanya berintrospeksi diri dan mencoba mempelajari kelemahan dalam proses mengungkap sebuah realitas korupsi yang seharusnya menjadi tanggung jawab besarnya. Menurut Wartono, Pengajar Universitas Sebelas Maret dan Managing Partner Kantor Akuntan Publik Wartono, dalam sebuah tulisannya, kendala utama akuntan dalam mengungkap realitas korupsi seringkali terbentur pada konsep veriability akuntan. Konsep ini mengarahkan akuntan berpegang teguh pada prinsip form over substance dan bukannya substance over form.
Konsep veriabilitas tersebut menegaskan bahwa transaksi atau kejadian (realitas) harus dicerminkan dalam bentuk dokumen atau bukti transaksi yang dapat ditelusuri. Kejadian atau transaksi dianggap fiktif jika tidak dapat dicerminkan atau didukung dengan bukti formal. Dengan kata lain realitas yang sebenarnya terjadi dianggap tidak ada jika tidak didukung dengan dokumen atau bukti formal. Inilah yang disebut realitas formal/formulir. Ini berarti bahwa form lebih ditonjolkan dari pada substansinya. Meskipun terdapat fakta yang benar-benar ada atau terjadi, misalnya terdapatnya penggelapan atau pengambilan uang secara tidak legal benar-benar terjadi, namun jika tidak ada dokumen atau bukti formal yang mendukung (misalnya berupa kwitansi pengeluaran yang membuktikan adanya penggelapan), maka pandangan ini memperlakukan bahwa penggelapan dianggap tidak ada, karena realitas dinilai dari formnya. Konsep veriabilitas ini menegaskan bahwa auditor tidak akan berhasil mengungkap realitas yang sebenarnya manakala realitas yang terjadi tidak ditemukan atau disertai dengan dokumen formal. Tentu saja realitas yang diungkap hanyalah realitas formal saja dan bukan realitas substansial. Namun, meskipun hal ini diperbaiki tetap saja yang menentukan adalah apakah proses ini cost-nya tidak melebihi benefit yang diperoleh.
Korupsi merupakan salah satu masalah utama dan menggagalkan terciptanya keadilan sosial pada bangsa ini. Korupsi inipun telah merasuk hingga sendi-sendi kehidupan bangsa sehingga membutuhkan partisipasi seluruh komponen bangsa terutama proses pendidikan. Pendidikan akuntansi saat ini hanya berkutat pada definisi, prosedur, metode bukannya pada kajian kritis, kreatifitas, dan mentalitas. Pola ini merupakan jiplakan pola yang diterapkan di barat. Pendidikan di Indonesia seyogyanya tidak ikut dalam arus pusaran pendidikan yang persis sama dengan pendidikan di barat. Pendidikan akuntansi di Indonesia adalah sistem dan konsep dasar pendidikan akuntansi yang seyogyanya merupakan citra realitas ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia itu sendiri. Sistem pendidikan akuntansi seyogyanya dikembangkan sesuai dengan UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003 yang dirumuskan dengan mendasarkan pada Pancasila.
Proses pendidikan akuntansi diharapkan dapat memperbaiki pandangan dunia seorang akuntan. Menurut Aji, Reiter dan Williams menganggap bahwa akuntan terutama akuntan publik dengan independensinya saat ini telah berubah dari karakter aslinya dari “judicial man” menjadi “economic man”. Reiter bahkan melihat karakter interdependensi yang muncul dalam kecenderungan akuntansi saat ini adalah mengarahkan perubahan independensi disesuaikan dengan tren yang berkembang saat ini, yaitu kepuasan pelanggan dan bersifat kooperatif (seperti Total Quality Management, Value Chains dan Learning Organizations). Hal ini jelas bertentangan dengan karakter profesi yang seyogyanya mementingkan kepentingan publik. Tentu saja hal ini akan menghalangi akuntan untuk berperan lebih besar dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Profesi akuntan yang mengembang amanat Pancasila ini memiliki ruang yang sangat besar dalam mewujudkan sila kelima pancasila. Akuntan berperan mengarahkan keberpihakan institusi yang tidak hanya terfokus pada pemilik modal atau pimpinan namun juga pada publik sehingga proses bisnisnya lebih transparan dan accountable bagi masyarakat umum. Hal ini tentu saja akan menghindarkan institusi dari perilaku yang tidak bertanggung jawab atau institusi terkait pemerintahan untuk berperilaku korup. Peran tersebut dapat dilakoni lewat internal maupun eksternal institusi. Tentu saja hal itu harus dibina atau dikader lebih awal lewat sebuah jenjang pendidikan formal maupun informal yang seyogyanya akan menghasilkan mental-mental altruis termasuk anti-korupsi untuk mempersiapkan sebuah keidupan yang berkeadilan sosial. Sungguh sebuah peran yang sangat mulia ketika penghayatan seorang akuntan bahkan profesi akuntan sendiri telah sampai pada titik itu. Transparansi dan akuntanbilitas tidak lagi direlatifkan oleh hijaunya mata memandang keindahan gaji, jabatan atau fee bagi akuntan.
Daftar Referensi
McPhail, Ken dan Diane Walters. 2009. Accounting and Business Ethics An introduction. New York: Routledge
Mulawarman, Aji Dedi. 2008. Rekonstruksi Independensi Akuntan Publik: Pandangan Islam. (Online), (http://ajidedim.wordpress.com/2008/03/21/rekonstruksi-independensi-akuntan-publik-pandangan-islam, diakses 19 Oktober 2010)
Wartono. 2006. Menuju Pengauditan Holistik dengan Pendekatan Yin Dan Yang: Upaya Meningkatkan Relevansi. Jurnal Akuntansi, Auditing, Dan Sistem Informasi (TEMA) Vol 7 No 1 Maret 2006
Selengkapnya...
Sebagai sebuah profesi, akuntan memiliki karakteristik unik dibanding dengan profesi lainnya dengan sangat menonjolkan semangat profesionalisme. Keunikan tersebut berangkat dari sebuah kondisi dimana profesi lain merupakan client-oriented, namun akuntan punya prima rensponsibility yang diamanatkan oleh publik daripada sekedar kepentingan klien atau perusahaan. Akuntansi merupakan avant garde dalam mengemban amanat transparansi dan akuntabilitas dalam ranah good governance yang menjadi salah satu pilar utama dalam aliran modernisme dan developmentalisme.
Akuntan memiliki bagian tanggung jawab dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan cita-cita dari para founding father bangsa Indonesia yang tertuang dalam sila kelima Pancasila. Tanggung jawab ini tercakup dalam semua aspek profesi akuntan, baik sebagai akuntan publik, akuntan pemerintah termasuk akuntan pajak, akuntan pendidik, maupun akuntan manajemen termasuk konsultan.
Akuntan bertanggung jawab dalam menyajikan data-data yang akan mempengaruhi keputusan manajemen. Meskipun hanya diberikan peran sebagai penyaji data, akuntan dapat memilih data yang akan disediakan dengan mempertimbangkan pengaruh data tersebut dalam keputusan yang akan memberikan manfaat bagi masyarakat luas dan bukan hanya kepada pemilik modal. Sebagai kaum profesional, akuntan seyogyanya menyajikan data yang sesuai dengan tanggung jawab utamanya sebagai pelayan publik dan bukan menyajikan data yang akan membuatnya tampak berpihak pada pimpinan atau klien untuk mendapat imbalan berupa kenaikan gaji dan pangkat atau keberlanjutan dalam hubungan pemberian jasa terhadap klien tersebut.
Sebuah pertarungan yang sangat nyata antara yin dan yang hadir dalam sanubari seorang akuntan setiap kali dihadapkan pada sebuah kondisi yang mengharuskannya untuk menggunakan judgment profesionalnya. Vis a vis antara tuntutan sebuah profesi sebagai sebuah lahan subur untuk isi perut dan semangat professional yang menjunjung tinggi semangat altruis seringkali menghadirkan dilema bagi akuntan. Altruis merupakan yin dan yang-nya adalah egois. Sikap altruis pada titik ekstrim bahkan akan menghilangkan keinginan diri untuk memenuhi kebutuhan diri itu sendiri demi kebutuhan orang lain atau merelakan nyawanya demi orang lain.
Konsep cost-benefit memasung semangat profesionalisme akuntan dalam menjalankan tugasnya. Makna ‘benefit’ yang diperoleh akuntan terkontaminasi dengan aliran materialis yang inheren dalam konsep akuntansi itu sendiri. Sehingga jasa yang diberikan hanya dinilai dengan manfaat ekonomis yang diperoleh dan semangat profesionalisme pun tewas dalam medan pertempuran. Sungguh ironis nasib transparansi dan akuntabilitas yang disandarkan pada pundak akuntan ternyata relatif.
Peran akuntan publik sangat strategis, mengingat sekurangnya terdapat sekitar 22 undang-undang yang menyebutkan kebutuhan audit laporan keuangan oleh akuntan publik, di antaranya yaitu UU Pasar Modal, UU Perseroan Terbatas, UU Perbankan, UU BPK, UU Keuangan Negara, UU Yayasan, UU Koperasi, UU Pemilu/Pilkada, dan lainnya. Tanggung jawab yang begitu besar dipundak akuntan membuat profesi ini sepertinya rentan sekali terkena penyakit akibat tekanan psikologis yang semakin kuat. Kehadiran RUU akuntan publik salah satunya, bahkan mengancam akan memenjarakan akuntan ketika memberikan informasi yang salah meskipun itu berlandasakan judgment akuntan publik. Tapi bukankah itu sebuah nyanyian supporter bola dari tribun penonton kepada tim kebanggannya agar menyajikan permainan yang berkualitas sehingga menjadi scudetto?
Saat ini, profesi akuntan tertinggal beberapa poin dari pimpinan klasemen yaitu ahli hukum dalam pemberantasan korupsi. Jajaran kepengurusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), umumnya didominasi oleh orang-orang non-akuntan yang memiliki latar belakang kemampuan dalam menyingkap realitas korupsi. Ketika perilaku korup mewabah di negeri ini, profesi akuntan tentu memiliki andil besar di dalamnya. Bagaimana tidak, akuntan ibarat koki yang meramu dan mengaudit laporan keuangan pemerintah atau perusahaan swasta. Akuntan menyusun laporan keuangan yang korup dan akuntan juga mengaudit laporan keuangan yang korup. Bukankah ini sebuah ironi bagi profesi kebanggan ini?
Profesi akuntan seyogyanya berintrospeksi diri dan mencoba mempelajari kelemahan dalam proses mengungkap sebuah realitas korupsi yang seharusnya menjadi tanggung jawab besarnya. Menurut Wartono, Pengajar Universitas Sebelas Maret dan Managing Partner Kantor Akuntan Publik Wartono, dalam sebuah tulisannya, kendala utama akuntan dalam mengungkap realitas korupsi seringkali terbentur pada konsep veriability akuntan. Konsep ini mengarahkan akuntan berpegang teguh pada prinsip form over substance dan bukannya substance over form.
Konsep veriabilitas tersebut menegaskan bahwa transaksi atau kejadian (realitas) harus dicerminkan dalam bentuk dokumen atau bukti transaksi yang dapat ditelusuri. Kejadian atau transaksi dianggap fiktif jika tidak dapat dicerminkan atau didukung dengan bukti formal. Dengan kata lain realitas yang sebenarnya terjadi dianggap tidak ada jika tidak didukung dengan dokumen atau bukti formal. Inilah yang disebut realitas formal/formulir. Ini berarti bahwa form lebih ditonjolkan dari pada substansinya. Meskipun terdapat fakta yang benar-benar ada atau terjadi, misalnya terdapatnya penggelapan atau pengambilan uang secara tidak legal benar-benar terjadi, namun jika tidak ada dokumen atau bukti formal yang mendukung (misalnya berupa kwitansi pengeluaran yang membuktikan adanya penggelapan), maka pandangan ini memperlakukan bahwa penggelapan dianggap tidak ada, karena realitas dinilai dari formnya. Konsep veriabilitas ini menegaskan bahwa auditor tidak akan berhasil mengungkap realitas yang sebenarnya manakala realitas yang terjadi tidak ditemukan atau disertai dengan dokumen formal. Tentu saja realitas yang diungkap hanyalah realitas formal saja dan bukan realitas substansial. Namun, meskipun hal ini diperbaiki tetap saja yang menentukan adalah apakah proses ini cost-nya tidak melebihi benefit yang diperoleh.
Korupsi merupakan salah satu masalah utama dan menggagalkan terciptanya keadilan sosial pada bangsa ini. Korupsi inipun telah merasuk hingga sendi-sendi kehidupan bangsa sehingga membutuhkan partisipasi seluruh komponen bangsa terutama proses pendidikan. Pendidikan akuntansi saat ini hanya berkutat pada definisi, prosedur, metode bukannya pada kajian kritis, kreatifitas, dan mentalitas. Pola ini merupakan jiplakan pola yang diterapkan di barat. Pendidikan di Indonesia seyogyanya tidak ikut dalam arus pusaran pendidikan yang persis sama dengan pendidikan di barat. Pendidikan akuntansi di Indonesia adalah sistem dan konsep dasar pendidikan akuntansi yang seyogyanya merupakan citra realitas ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia itu sendiri. Sistem pendidikan akuntansi seyogyanya dikembangkan sesuai dengan UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003 yang dirumuskan dengan mendasarkan pada Pancasila.
Proses pendidikan akuntansi diharapkan dapat memperbaiki pandangan dunia seorang akuntan. Menurut Aji, Reiter dan Williams menganggap bahwa akuntan terutama akuntan publik dengan independensinya saat ini telah berubah dari karakter aslinya dari “judicial man” menjadi “economic man”. Reiter bahkan melihat karakter interdependensi yang muncul dalam kecenderungan akuntansi saat ini adalah mengarahkan perubahan independensi disesuaikan dengan tren yang berkembang saat ini, yaitu kepuasan pelanggan dan bersifat kooperatif (seperti Total Quality Management, Value Chains dan Learning Organizations). Hal ini jelas bertentangan dengan karakter profesi yang seyogyanya mementingkan kepentingan publik. Tentu saja hal ini akan menghalangi akuntan untuk berperan lebih besar dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Profesi akuntan yang mengembang amanat Pancasila ini memiliki ruang yang sangat besar dalam mewujudkan sila kelima pancasila. Akuntan berperan mengarahkan keberpihakan institusi yang tidak hanya terfokus pada pemilik modal atau pimpinan namun juga pada publik sehingga proses bisnisnya lebih transparan dan accountable bagi masyarakat umum. Hal ini tentu saja akan menghindarkan institusi dari perilaku yang tidak bertanggung jawab atau institusi terkait pemerintahan untuk berperilaku korup. Peran tersebut dapat dilakoni lewat internal maupun eksternal institusi. Tentu saja hal itu harus dibina atau dikader lebih awal lewat sebuah jenjang pendidikan formal maupun informal yang seyogyanya akan menghasilkan mental-mental altruis termasuk anti-korupsi untuk mempersiapkan sebuah keidupan yang berkeadilan sosial. Sungguh sebuah peran yang sangat mulia ketika penghayatan seorang akuntan bahkan profesi akuntan sendiri telah sampai pada titik itu. Transparansi dan akuntanbilitas tidak lagi direlatifkan oleh hijaunya mata memandang keindahan gaji, jabatan atau fee bagi akuntan.
Daftar Referensi
McPhail, Ken dan Diane Walters. 2009. Accounting and Business Ethics An introduction. New York: Routledge
Mulawarman, Aji Dedi. 2008. Rekonstruksi Independensi Akuntan Publik: Pandangan Islam. (Online), (http://ajidedim.wordpress.com/2008/03/21/rekonstruksi-independensi-akuntan-publik-pandangan-islam, diakses 19 Oktober 2010)
Wartono. 2006. Menuju Pengauditan Holistik dengan Pendekatan Yin Dan Yang: Upaya Meningkatkan Relevansi. Jurnal Akuntansi, Auditing, Dan Sistem Informasi (TEMA) Vol 7 No 1 Maret 2006